Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan pulau Kalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania.
Latar belakang
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[1] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
Perang
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
• Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
• Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Akhir konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Akibat
Konfrontasi ini merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.[1]
Catatan kaki
1. ^ a b Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007
Indonesia/Malaysia: Hak Pekerja Rumah Tangga Diinjak
Majikan dan Penyalur Tenaga Kerja Mengeksploitasi dan Melecehkan Pekerja Perempuan
July 21, 2004
Pekerja rumah tangga asal Indonesia diperlakukan seperti manusia kelas kedua. Malaysia dan Indonesia harus secara aktif melindungi hak-hak buruh perempuan, bukannya membiarkan masalah ini ditangani oleh penyalur-penyalur tenaga kerja yang seringkali bertanggungjawab atas pelecehan.
LaShawn R. Jefferson, Direktur Eksekutif Divisi Hak Perempuan di Human Rights Watch.
Ribuan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia sedang dilecehkan karena kebijakan pemerintah di kedua negara itu gagal melindungi mereka, menurut Human Rights Watch dalam sebuah laporan baru yang diluncurkan hari ini.
90 persen lebih dari 240,000 pekerja rumah tangga di Malaysia adalah warga negara Indonesia. Laporan Human Rights Watch mendokumentasi bagaimana mereka biasa bekerja keras enambelas hingga delapanbelas jam sehari, tujuh hari seminggu, dan digaji kurang dari U.S.$0,25 per jam.
Buruh migran di seluruh dunia mengirim lebih dari $90 milyar ke negara berkembang, melebihi bantuan dana asing. Jumlah buruh migran yang perempuan makin meningkat. Di Indonesia, 76 persen dari semua buruh migran sah di tahun 2002 adalah perempuan. Sebagian besar buruh migran perempuan bekerja di sektor-sektor yang bergaji rendah dan tidak diregulasi, seperti sektor rumah tangga.
Undang-undang Malaysia mengabaikan pekerja rumah tangga dari kebanyakan perlindungan kerja, dan Indonesia masih belum memiliki undang-undang apapun yang secara spesifik melindungi buruh migran. Kedua pemerintah harus membenahi undang-undang ketenagakerjaan, memonitor secara seksama perusahaan jasa tenaga kerja, dan memberikan bantuan pelayanan yang berkualitas bagi korban, kata Human Rights Watch.
“Pekerja rumah tangga asal Indonesia diperlakukan seperti manusia kelas kedua,” kata LaShawn R. Jefferson, Direktur Eksekutif Divisi Hak Perempuan di Human Rights Watch. “Malaysia dan Indonesia harus secara aktif melindungi hak-hak buruh perempuan, bukannya membiarkan masalah ini ditangani oleh penyalur-penyalur tenaga kerja yang seringkali bertanggungjawab atas pelecehan.”
Laporan Human Rights Watch sepanjang 110 halaman, “Mencari Bantuan: Pelecehan terhadap Pekerja Rumah Tangga Migran Perempuan di Indonesia dan Malaysia,” mendokumentasi pelecehan dan eksploitasi yang dihadapi pekerja rumah tangga perempuan di setiap tahap migrasi.
Kebanyakan pekerja rumah tangga dilarang meninggalkan tempat kerja mereka dan jumlah yang tak diketahui menderita pelecehan psikologis, fisik, dan seksual dari agen kerja dan majikan. Sebagian pekerja rumah tangga migran terjebak dalam situasi trafficking (perdagangan manusia) dan kerja paksa: mereka ditipu mengenai kondisi dan jenis pekerjaan mereka, dikurung dalam tempat kerja, dan tidak menerima gaji apapun.
Perusahaan jasa tenaga kerja di Indonesia dan Malaysia menguasai sebagian besar aspek proses migrasi dan penempatan dengan hanya sedikit pemantauan dari kedua pemerintah, menurut Human Rights Watch. Di Indonesia, agen tenaga kerja sering menjadikan calon pekerja korban dari pemerasan, proses-proses rekrutmen yang diskriminatif, dan pengurungan selama berbulan-bulan di tempat-tempat pelatihan yang penuh sesak. Di Malaysia, agen tenaga kerja seakan tuli terhadap pengaduan-pengaduan perempuan mengenai perlakuan yang melecehkan, dan permohonan-permohonan mereka agar dipulangkan.
Menurut Human Rights Watch, banyak majikan menahan gaji pekerja rumah tangga mereka hingga akhir kontrak standar dua tahun. Banyak pekerja rumah tangga yang tidak dibayar gaji penuh mereka dan hanya memiliki kemungkinan kecil untuk mendapatkan ganti rugi. “Perempuan Indonesia meninggalkan segalanya untuk mencari hidup di Malaysia,” Varia menambah. “Mereka sering pulang tanpa gaji sah mereka, sementara semua orang lain dalam proses ini mengambil untung dari mereka.”
Indonesia dan Malaysia sedang menegosiasikan sebuah Kesepakatan Bersama (Memorandum of Understanding atau MoU) tentang pekerja rumah tangga migran. Human Rights Watch menyambut inisiatif ini, tetapi mengingatkan bahwa perjanjian ini harus memastikan kebebasan bergerak dan berorganisasi, termasuk kontrak standar yang secara penuh melindungi hak ketenagakerjaan pekerja, dan mengandung ketentuan-ketentuan mengenai ganti rugi jika terjadi kasus pelecehan.
Human Rights Watch meminta pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk melakukan serangkaian perbaikan, yang meliputi:
• Memperbaiki perlindungan-perlindungan hukum dengan menciptakan undang-undang mengenai perlindungan buruh migran, dan dengan membenahi undang-undang ketenagakerjaan dan imigrasi yang sekarang ada agar memberikan perlindungan setara bagi buruh migran;
• Mengatur dan memonitor secara seksama kegiatan penyalur tenaga kerja dan kondisi di tempat pelatihan di Indonesia;
• Menginspeksi kondisi tempat kerja di Malaysia dan menciptakan mekanisme-mekanisme pengaduan bagi pekerja rumah tangga migran yang menderita pelecehan;
• Memberikan sumberdaya untuk meningkatkan akses pekerja rumah tangga terhadap pelayanan kesehatan, bantuan hukum, dan bantuan pelayanan lainnya; dan
• Memperbaiki usaha-usaha untuk mencegah dan menangani perdagangan manusia (trafficking) untuk kerja paksa.
Human Rights Watch juga meminta para donor internasional dan ASEAN mendukung inisiatif-inisiatif seperti perjanjian-perjanjian ketenagakerjaan multilateral, agar melindungi hak-hak pekerja rumah tangga migran.
Beberapa kesaksian pekerja rumah tangga dan agen tenaga kerja yang ditemukan dalam laporan ini:
(Nama samaran digunakan bagi pekerja perempuan untuk melindungi privacy mereka dan mencegah retaliasi)
Nyatun Wulandari, usia duapuluh tiga tahun, bertutur, “Saya bekerja untuk lima orang, anak-anaknya sudah dewasa. Saya membersihkan rumah, dapur, mengepel lantai, menyetrika, menyedot debu, dan membersihkan mobil. Saya kerja dari jam 5 pagi sampai jam 2 pagi setiap hari. Saya tidak pernah mendapatkan waktu istirahat; saya mencuri waktu agar dapat istirahat. Hanya sekali saya dibayar, 200 ringgit [U.S.$52.63]. Saya tidur di dapur di atas tikar. Saya tidak diperbolehkan keluar rumah.”
Jumilah Ratnasari, usia tigapuluh dua tahun, bercerita, “Ada hampir tujuh ratus orang [di pusat pelatihan]. Ada yang menjadi gila. Semuanya perempuan…. Ada yang menunggu di sana selama enam bulan. Kebanyakan dari mereka ingin meninggalkan perusahaan itu, tapi untuk melakukannya harus bayar satu juta rupiah [U.S.$122]. Banyak yang kabur dengan cara memanjat tembok. Kita tidak diperbolehkan keluar. Ada banyak [petugas] keamanan---yang keras---dan pagar-pagar yang terkunci. Kalau ada yang kabur, [petugas] keamanan dihukum, mereka menelfon agen-agen di Lombok untuk memastikan apakah yang kabur pulang ke rumah.”
Arianti Harikusumo, usia duapuluh tujuh tahun, bercerita, “Waktu saya meminta gaji saya, majikan memukul saya. Saya tidak pernah mendapatkan gaji saya, majikan tidak memberi saya uang. Majikan tidak pernah memberikan saya satu ringgitpun. Kalau majikan-majikan saya keluar, mereka mengunci pintu dari luar dan membawa kuncinya. Majikan saya melarang saya berbicara dengan tetangga. Dia tidak membolehkan saya menggunakan telpon atau menulis surat. Saya meminta majikan saya agar menulis surat kepada keluarga saya dan dia tidak memberi izin.”
Susanti Pramono, usia duapuluh tahun, bertutur, “Waktu ibu [majikan] pergi mengantar anak-anak ke rumah nenek, [majikan] yang lelaki tinggal di rumah…. Dia memperkosa saya berkali-kali. Sekali sehari, setiap hari untuk tiga bulan. Dia sering memukul saya karena saya tidak mau melakukan seks.”
Reog Malaysia Asli Buatan Indonesia
Jumat, 23 November 2007 03:12 WIB | Hiburan | | Dibaca 7772 kali
Ponorogo (ANTARA News) - Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Pemkab Ponorogo, Jawa Timur menyatakan gambar reog yang ditampilkan di website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia adalah asli buatan perajin reog asli Ponorogo.
Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya, Pemkab Ponorogo, Gunardi, Kamis, di Ponorogo, mengatakan gambar reog Malaysia di website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia dengan alamat situs http://www.heritage.gov.my itu terdapat banyak kemiripan dengan reog Ponorogo. "Setelah saya telusuri ternyata gambar reog di website itu adalah asli buatan Pak Molok, perajin reog di Ponorogo," katanya saat ditemui di Pemkab Magetan. Menurut dia, dadak merak reog yang dibuat Molok berukuran panjang 2,25 meter, lebar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram, sedangkan yang membedakan antara reog buatan Molok dengan perajin reog lainya terletak pada kekhasan saat membuat dadak merak dengan motif dan ukiran khusus. "Tapi jelasnya, yang lebih mengetahui kalau reog itu buatan Pak Molok ya para perajin reog itu sendiri," katanya. Selain itu, kata dia, para perajin reog juga pernah mengaku pernah mengirim dua unit reog ke pelanggannya yang ada di Malaysia beberapa tahun lalu.
Namun demikian, ia menjelaskan bahwa Pemerintahan Malaysia mempunyai program melindungi seni budaya baik yang berasal dari Malaysia maupun luar negaranya yang saat ini berkembang di Malaysia. Adapun seni budaya yang dilindungi Pemerintahan Malaysia saat ini meliputi tarian tradisional Melayu, China, India, Sikh, etnis Sabah, dan etnis Serawak. "Seni tari reog asal Ponorogo masuk dalam kategori seni tari Melayu yang juga dilindungi," katanya. Menurut Gunardi, saat ini yang dipermasalahkan banyak orang yakni adanya gambar reog yang bertuliskan Malaysia. Selain itu, banyak cerita yang ditampilkan dalam tarian garongan mirip dengan cerita yang ada di tarian reog Ponorogo.(*)
Menlu: Blok Ambalat Itu Hak Berdaulat Indonesia
Jumat, 26 Juni 2009 21:43 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 807 kali
Surabaya (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menegaskan bahwa Blok Ambalat itu merupakan bagian dari hak berdaulat Indonesia, namun laut Ambalat itu sesungguhnya bukan kedaulatan Indonesia.
"Blok Ambalat tidak masuk dalam 12 mil dari baseline (tepi pangkal) yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia, tapi laut Ambalat itu masuk wilayah hak berdaulat dari Indonesia yang berada di luar 12 mil dan masih menjadi hak eksplorasi Indonesia," katanya di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga" yang diadakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu, Triyono Wibowo, ia mengatakan negara pantai seperti Indonesia menurut hukum Laut Internasional berhak atas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE (200 mil laut) dan landas kontinen (350 mil laut atau bahkan lebih).
Kendati wilayah hak berdaulat itu bukan wilayah kedaulatan, tapi wilayah hak berdaulat yang dihitung setelah 12 mil itu memberi kewenangan kepada Indonesia untuk melakukan eksplorasi sumberdaya laut yang ada.
"Masalahnya, provokasi yang dilakukan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir sudah melanggar keduanya yakni wilayah kedaulatan Indonesia dan wilayah hak berdaulat Indonesia itu," katanya ketika ditanya ANTARA setelah memberi kuliah tamu.
Namun, kata Menteri yang menyelesaikan program doktor di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat itu, Indonesia tidak ingin berperang dengan Malaysia.
"Kita memiliki perbatasan laut dengan 10 negara dan perbatasan darat dengan tiga negara yakni Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini, karena itu kita mengedepankan perundingan, bukan perang," katanya.
Menurut dia, perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama, karena itu bila penyelesainnya lama bukan berarti pemerintah tidak serius atau lembek.
"Dalam sengketa dengan Vietnam terkait Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di daratan Asia Tenggara, ternyata dapat diselesaikan dalam 32 tahun, sedangkan penyelesaian sengketa Indonesia-Singapura membutuhkan waktu lima tahun," katanya.
Terkait dengan laut Ambalat, katanya, pihaknya saat ini sudah melakukan 13 kali perundingan, namun provokasi dari Malaysia juga sudah banyak.
"TNI AL lewat Panglima TNI sudah berkali-kali menyampaikan surat ke saya terkait adanya insiden dengan mencatat nama kapal, berapa kali masuk, dan langkah-langkah yang sudah dilakukan TNI AL," katanya.
Hasilnya, katanya, surat Panglima TNI itu sudah disampaikan kepadanya dan dirinya juga sudah menyampaikan nota protes kepada Menlu Malaysia.
"Protes itu sendiri masih ditanggapi dengan klaim Malaysia, karena itu kita akan memprioritaskan pada perundingan agar masalah itu tidak berlarut-larut, tapi saya setuju bila TNI AL melakukan perkuatan personel di sana agar Malaysia dapat menahan diri sebelum perundingan selesai," katanya.(*)
Indonesia-Malaysia Sepakati Perjanjian Udara Baru
Selasa, 16 Juni 2009 17:42 WIB | Ekonomi & Bisnis | Bisnis | Dibaca 799 kali
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Indonesia dan Malaysia memasuki babak baru dalam perjanjian udara karena telah mencapai beberapa kesepakatan di antaranya kesepakatan frekuensi penerbangan dan kapasitas angkutan udara komersial, hak lalu lintas penerbangan bebas kelima, angkutan kargo, dan tipe pesawat. "Banyak kesepakatan yang dicapai dari perundingan angkutan udara Indonesia - Malaysia di Putrajaya, 9-10 Juni 2009," kata Atase Perhubungan KBRI Kuala Lumpur, Sahar Andika Putra di Kuala Lumpur, Selasa. Delegasi Indonesia dipimpin Direktur Angkutan Udara Tri S Sunoko dan delegasi Malaysia dipimpin Sekjen Kementerian Pengangkutan Zakaria. Dalam pertemuan itu hadir juga wakil-wakil operator penerbangan yakni Merpati, Sriwijaya Air, Cardig Air dan AirAsia Indonesia dan MAHB (Malaysian Airports Holding Bhd). Rincian kesepakatan, lanjut Sahar, tentang frekuensi dan kapasitas angkutan penumpang ialah untuk rute utama adanya pembatasan frekuensi penerbangan yakni hanya 300 penerbangan per minggu untuk rute Kuala Lumpur - Jakarta (pp), Kuala Lumpur - Denpasar (pp), dan Kuala Lumpur - Surabaya. "Malaysia meminta 400 penerbangan per minggu namun disepakati cuma 300 penerbangan saja," katanya. Sedangkan untuk rute feeder (pengumpan) disepakati maksimum 200 frekuensi penerbangan per minggu misalkan untuk rute Kuala Lumpur-Padang, Kuala Lumpur-Medan atau Kuala Lumpur-Solo.
Fifth Freedom
Dari perundingan itu, Indonesia setuju memberikan fifth freedom traffic right atau hak lalu lintas bebas kelima kepada maskapai penerbangan Malaysia, 14 frekuensi per minggu, dari kota Jakarta, atau Denpasar, atau Makassar, dan Balikpapan ke Sydney, Melbourne, Brisbane dan Perth. "Jadi maskapai penerbangan Malaysia bisa buat rute KLIA-Jakarta-Sydney atau KLIA-Denpasar-Perth. Maskapai penerbangan Malaysia bisa angkut penumpang dari Jakarta dan Denpasar," jelas Atase Perhubungan itu. Sedangkan penerbangan Indonesia diberikan hak terbang fifth freedom traffic right oleh pemerintah Malaysia dari semua poin (Bandara) di Indonesia ke Kuala Lumpur, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian meneruskan penerbangan ke seluruh negara Asia, kecuali Jepang.
"Jadi penerbangan Indonesia bisa buat rute Jakarta-Kuala Lumpur-Jeddah, atau Jakarta-Kota Kinabalu-Beijing. Bisa terbang dan angkut penumpang dari KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian terus terbang lagi ke kota-kota di Asia, kecuali Jepang. Jatahnya hanya 36 penerbangan per minggu," katanya.
Selain itu, penerbangan Indonesia juga dapat terbang dari Indonesia ke KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian meneruskan penerbangan ke Eropa. Jatahnya hanya 14 penerbangan per minggu. Contohnya, penerbangan Indonesia bisa terbang, Denpasar-KLIA-Amsterdam.
Malaysia juga berikan hak penerbangan dari Indonesia ke KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian terbang lagi ke negara-negara Timur Tengah maksimal 21 frekuensi penerbangan per minggu. "Kalau ke Amerika Serikat diberikan hak 14 penerbangan per minggu dari Indonesia ke KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching terus terbang lagi ke Amerika. Jadi nanti bisa dibuat rute Jakarta-Kuala Lumpur-Los Angeles," katanya. Kesepakatan Indonesia-Malaysia di bidang penerbangan kargo, Indonesia memberikan angkutan kargo Malaysia tanpa batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat untuk rute Malaysia-Batam (pp), Malaysia-Jakarta (pp), Malaysia-Surabaya (pp), Malaysia-Balikpapan (pp). Malaysia memberikan angkutan kargo Indonesia tanpa batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat untuk rute Indonesia-Kuala Lumpur (pp), Indonesia-Penang (pp), Indonesia-Johor Bahru (pp), dan Indonesia-Kota Kinabalu (pp). Mengenai tipe pesawat, Indonesia-Malaysia sepakat menambah tipe pesawat baru yakni B-737-800 masuk dalam daftar yang diijinkan operasi. Sebelumnya tipe pesawat yang sudah diijinkan yakni Boeing 747-300, Airbus 330, Boeing 777, Boeing 757, Airbus 300-200, Boeing 737-900, Boeing 737-200/300/400/500, Boeing 727, MD82, Airbus 319, Fokker 28-1000/4000, BAE-146, ATR72, Fokker 27 dan BN-2. "Hasil kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam MOU yang akan ditandatangani kedua menteri perhubungan di Jakarta pada Agustus 2009," tambah Sahar. Selain itu, dalam perundingan itu, pemerintah telah mencabut surat keputusan menteri dalam negerinya yang mewajibkan tenaga kerja Indonesia (TKI) menggunakan Malaysia Airlines (MAS) ke Malaysia dan akan memberikan perlakuan adil kepada maskapai penerbangan dua negara.
Senin, 24 Januari 2011
BAHASA INDONESIA JURNALISTIK
1.1 Apa itu Bahasa Jurnalistik
Para sesepuh jurnalistik ataupun sesepuh bahasa kerap mengatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus bersandar pada bahasa baku.
Menurut Wojowasito (via Anwar, 1984:1), bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan normatata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
Anton M. Moeliono (1994), Konsultan Pusat Bahasa, mengatakan bahwa laras bahasa jurnalistik tergolong ragam bahasa baku.
Terbukti bahwa bahasa jurnalistik dan bahasa Indonesia baku tidak berbeda, yang membedakan hanyalah pada penggunaannya.
Rosihan Anwar (1994:1) , mengatakan , “Bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik.
Moeliono (1994), menambahi bahwa bahasa jurnalistik memiliki kekhasan diksi yang dicirikan oleh upaya ekonomi kata, kekhasan pengalimatan yang ditandai oleh pemendekan kalimat.
Jus Badudu (1992:62), bahasa jurnalistik harus sederhana dan mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif berarti bahasa pers harus tidak bertele-tele tetapi tidak terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi, bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
1.2 Bahasa Jurnalistik di Antara Ragam dan Laras Bahasa Lain
Bahasa jurnalistik adalah sebuah laras bahasa. Sebagai penyampai informasi, laras bahasa jurnalistik selalu bersinggungan dengan laras bahas lainnya, karena sebagai penyampai informasi diharapkan mampu menjembatani antarlaras bahasa itu. Dengan kata lain, pewarta dapat bereksplorasi dengan laras bahasa lain sehingga bahasa yang digunakan lebih variatif dan enak dibaca.
Bahasa jurnalistik juga harus akrab dengan ragam kedaerahan atau dialek, sebab dengan demikian bahasa yang dipaki untuk menyampaikan informasi tentang suatu peristiwa kedaerahan dapat lebih berwarna. Dengan begitu informasi yang disampaikan dapat dipahami dan pembaca menyadari bahwa peristiwa tersebut terjadi disuatu tempat.
Bahasa yang digunakan untuk menyampaikan informasi adalah ragam bahasa baku, karena hanya bahasa baku yang pemakaiannya luas dan memiliki ciri kecendekiaan. Maka bahasa jurnalistik wajib memelihara bahasa Indonesia.
Menurut Anton M. Moeliono (1994), antara laras bahasa jurnalistik dan laras bahasa baku saling membutuhkan. Ragam bahasa baku ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang setara dengan bahasa lain di dunia, sedang laras bahasa jurnalistik memerlukan pengungkapan diri secara modern.
Bahasa yang digunakan media massa bersandar pada bahasa baku tetapi pemakaiannya berbeda, struktur kalimatnya lebih longgar, tidak normatif, pilihan katanya juga lebih bebas, dan tanpa beban perihal kebakuan. Yang membedakannya adalah bahasa jurnalistikharus bertutur dengan santai, meskipun harus tetap memperhatikan norma-norma kebahasaan.
Bahasa jurnalistik berada diantara ragam baku resmi dan santai, antara bahasa lisan dan tulis.
Maka bahasa jurnalistik dari sisi penggunaan bahasa dapat disebut sebagai ragam bahsa tengah-tengah atau medial.
1.3 Bahasa Jurnalistik dan Sastra
Kebebasan penggunaan bahasa di media massa sempat membuat iri para sastrawan, karena itu banyak sastrawan yang beramai-ramai menjadi wartawa. Mungkin lantaran dunia jurnalistik dan sastra sama-sama menuntut kreatifitas dalam berbahasa, ketika sastrawan menjadi wartawan merasa tidak berpindak dunia. Benar begitu? Tanyalah Gorys Keraf. Kata pakar bahasa ini, yang sekarang sudah almarhum, kepada harian Berita Buana (17 April 1991), dalam bahasa jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa sastra.
Itulah mengapa bahasa dalam tulisan jurnalistik masa kini lebih kaya warna. Selain informasi kini pembaca juga disuguhi bahasa yang enak dan indah. Penulis berita bukan Cuma memilih kata yang tepat agar penyampaian berita tepat sasaran, tetapi juga agar menimbulkan efek bunyi yang enak (eufoni).
Bahasa yang digunakan dalam reportase dan satra agaknya sudah semakkin tipis perbedaannya.
Hasan junus (Kompas, 8 Oktober 1999), mengatakan suatu tulisan akan dipandang benar-benar sebagai karya sastra ketika dipandang dari sudut sastra, tetapi ketika dipandang dari sudut jurnalistik tulisan itu benar-benar menjadi karya jrnalistik.
1.4 Bahasa Jurnalistik dan Masyarakat
Sejak awal keberadaannya, bahasa jurnalistik sudah membedakan diri dengan bahasa yang sangat resmi. Hingga kini , kendati menggunakan bahasa yang cenderung resmi tetap saja itu merupakan bahasa sehari-hari yang tidak sama persis dengan bahasa resmi.
Karena itu tidak salah bila ada yang bilang bahwa bahasa jurnalistik adalah cerminan bahasa masyarakat, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang hidup atau dipakai di masyarakat. Namun Harimurti Kridalaksana tidak sependapat, Menurunguru besar linguistik ini (2000), yang terjadi kini justru bahasa media massa dipakai sebagai model penggunaan bahasa. Disini terbukti bahwa media massa mampu membentuk opini masyarakat.
Pada era reformasi media lebih banyak menggunakankosakata yang lebih tegas, selain kosakata yang bersifat menyerang dan agak barbar. Hal ini terjadi, menurut pakat komunikasi A. Muis (Kompas, 6 Oktober 1999), merupakan euforia politik karena yang selama ini terbendung ekarang bobol. Semua yang dulu dihalus-haluskan (eufemisme), sekarang dibuka blak-blakan.
Perubahan ini bag Benny Hoedoro Hoed (Kompas, 29 Juli 1999), adalah suatu yang wajar sebab dinamika kehidupan bahasa Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial politik. Dinamika perubahan itulah yang dipakai media massa.
Jadi, antara media massa dan masyarakat saling mempengaruhi, masyarakar mungkin terdistorsi oleh kesalahan penggunaan bahasa media massa tetapi media massa membantu perkembangan bahasa masyarakat.
1.4.1 Beberapa Kesalahan yang Diikuti Masyarakat
Kesalahan paling mencolok dari media massa yang kemudian diikuti masyarakat adalah pemakaian kata.Kesalahan pada struktur kalimat, masyarakat mencontoh penggunaan kalimat dalam media massa yang agak kurang bertanggungjawab.
Suroso (2001), dengan agak sengit menyebutkan penyimpangan media massa yang lain adalah penghilangan imbuhan dalam judul berita. Yang dihilangkan imbuhannya adalah kata kerja aktif. Namun kesalahan ini adalah satu-satunya yang boleh dilakukan, tampaknya ini merupakan sebuah keseoakatan tidak tertulis antara insan pers.
Rosihan Anwar (1984:87), mengatakan , “Saya pribadi tidak keberatan… Akan tetapi, pemakaiannya jangan sampai dipukul rata hingga merembet ke tubuh berita.”Sesungguhnya tradisi penghilangan imbuhan dimulai oleh pers Melayu-Tionghoa. Lantas Suroso juga menyebutkan perihal pemenggalan kata yang tidak tepat, persoalan yang satu ini menyangkut teknologi.
Anhar Gonggong (Kompas, 6 Oktober 1999), pakar sejarah yang juga pengamat komunikasi, mengatakan,”Media pada dasanya juga alat mendidik. Dengan bahasa yang baik dan tepat, apa yang dimaksud akan dengan mudah dapat cepat dipahami.
Yang kerap terjadi di media massa kita adalah penyalinan, tanpa mengubah sedikitpun, bahasa lisan menjadi bahasa tulis.Ini jelas merupakan kecerobohan besar, kecuali untuk kutipan langsung. Sebab, bagaimanapun, bahasa lisan lebih banyak cacatnya dibandingkan bahasa tulis. Karena itulah setiap pengelola media harusmenyadari bahwa medianya dibaca banyak orang sehingga ada kemungkinan bahasa medianya dijadikanmodel ketika orang belajar menulis (Sarwoko,2000).
1.4.2 Sumbangan Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia
Media massa bukan sekedar dunia informasi, melainkan juga dunia bahasa. Karena itu ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalistik maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi pejuang bahasa.
Seorang wartawan setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat serta dituntut kreatifitasnya dalam mengolah kata agar tulisannya tidak menbuat jenuh pembaca.. Karena itulah sering muncul “kata-kata baru” dari dunia jurnalistik. Kalau ditelisik lebih jauh maka akan ditemukan sederetan kata yang dipopulerkan kaum jurnalis, yang dipetik dari khasanah bahasa masyarakat ataupun dengan memberi makna baru terhadap kata yang sudah mati.
Sosok pejuang bahasa diperlihatkan dengan jelas oleh Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo. Dua wartawan muda inilah yang menggagas kongres bahasa pertama (1938) di Solo, Jawa Tengah. Jadi yang pertama-tama bukanlah guru atau ahli bahasayang amat peduli terhadap perkembangan bahasa sehingga perlu diadakan kongres.
Para sesepuh jurnalistik ataupun sesepuh bahasa kerap mengatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus bersandar pada bahasa baku.
Menurut Wojowasito (via Anwar, 1984:1), bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan normatata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
Anton M. Moeliono (1994), Konsultan Pusat Bahasa, mengatakan bahwa laras bahasa jurnalistik tergolong ragam bahasa baku.
Terbukti bahwa bahasa jurnalistik dan bahasa Indonesia baku tidak berbeda, yang membedakan hanyalah pada penggunaannya.
Rosihan Anwar (1994:1) , mengatakan , “Bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik.
Moeliono (1994), menambahi bahwa bahasa jurnalistik memiliki kekhasan diksi yang dicirikan oleh upaya ekonomi kata, kekhasan pengalimatan yang ditandai oleh pemendekan kalimat.
Jus Badudu (1992:62), bahasa jurnalistik harus sederhana dan mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif berarti bahasa pers harus tidak bertele-tele tetapi tidak terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi, bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
1.2 Bahasa Jurnalistik di Antara Ragam dan Laras Bahasa Lain
Bahasa jurnalistik adalah sebuah laras bahasa. Sebagai penyampai informasi, laras bahasa jurnalistik selalu bersinggungan dengan laras bahas lainnya, karena sebagai penyampai informasi diharapkan mampu menjembatani antarlaras bahasa itu. Dengan kata lain, pewarta dapat bereksplorasi dengan laras bahasa lain sehingga bahasa yang digunakan lebih variatif dan enak dibaca.
Bahasa jurnalistik juga harus akrab dengan ragam kedaerahan atau dialek, sebab dengan demikian bahasa yang dipaki untuk menyampaikan informasi tentang suatu peristiwa kedaerahan dapat lebih berwarna. Dengan begitu informasi yang disampaikan dapat dipahami dan pembaca menyadari bahwa peristiwa tersebut terjadi disuatu tempat.
Bahasa yang digunakan untuk menyampaikan informasi adalah ragam bahasa baku, karena hanya bahasa baku yang pemakaiannya luas dan memiliki ciri kecendekiaan. Maka bahasa jurnalistik wajib memelihara bahasa Indonesia.
Menurut Anton M. Moeliono (1994), antara laras bahasa jurnalistik dan laras bahasa baku saling membutuhkan. Ragam bahasa baku ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang setara dengan bahasa lain di dunia, sedang laras bahasa jurnalistik memerlukan pengungkapan diri secara modern.
Bahasa yang digunakan media massa bersandar pada bahasa baku tetapi pemakaiannya berbeda, struktur kalimatnya lebih longgar, tidak normatif, pilihan katanya juga lebih bebas, dan tanpa beban perihal kebakuan. Yang membedakannya adalah bahasa jurnalistikharus bertutur dengan santai, meskipun harus tetap memperhatikan norma-norma kebahasaan.
Bahasa jurnalistik berada diantara ragam baku resmi dan santai, antara bahasa lisan dan tulis.
Maka bahasa jurnalistik dari sisi penggunaan bahasa dapat disebut sebagai ragam bahsa tengah-tengah atau medial.
1.3 Bahasa Jurnalistik dan Sastra
Kebebasan penggunaan bahasa di media massa sempat membuat iri para sastrawan, karena itu banyak sastrawan yang beramai-ramai menjadi wartawa. Mungkin lantaran dunia jurnalistik dan sastra sama-sama menuntut kreatifitas dalam berbahasa, ketika sastrawan menjadi wartawan merasa tidak berpindak dunia. Benar begitu? Tanyalah Gorys Keraf. Kata pakar bahasa ini, yang sekarang sudah almarhum, kepada harian Berita Buana (17 April 1991), dalam bahasa jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa sastra.
Itulah mengapa bahasa dalam tulisan jurnalistik masa kini lebih kaya warna. Selain informasi kini pembaca juga disuguhi bahasa yang enak dan indah. Penulis berita bukan Cuma memilih kata yang tepat agar penyampaian berita tepat sasaran, tetapi juga agar menimbulkan efek bunyi yang enak (eufoni).
Bahasa yang digunakan dalam reportase dan satra agaknya sudah semakkin tipis perbedaannya.
Hasan junus (Kompas, 8 Oktober 1999), mengatakan suatu tulisan akan dipandang benar-benar sebagai karya sastra ketika dipandang dari sudut sastra, tetapi ketika dipandang dari sudut jurnalistik tulisan itu benar-benar menjadi karya jrnalistik.
1.4 Bahasa Jurnalistik dan Masyarakat
Sejak awal keberadaannya, bahasa jurnalistik sudah membedakan diri dengan bahasa yang sangat resmi. Hingga kini , kendati menggunakan bahasa yang cenderung resmi tetap saja itu merupakan bahasa sehari-hari yang tidak sama persis dengan bahasa resmi.
Karena itu tidak salah bila ada yang bilang bahwa bahasa jurnalistik adalah cerminan bahasa masyarakat, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang hidup atau dipakai di masyarakat. Namun Harimurti Kridalaksana tidak sependapat, Menurunguru besar linguistik ini (2000), yang terjadi kini justru bahasa media massa dipakai sebagai model penggunaan bahasa. Disini terbukti bahwa media massa mampu membentuk opini masyarakat.
Pada era reformasi media lebih banyak menggunakankosakata yang lebih tegas, selain kosakata yang bersifat menyerang dan agak barbar. Hal ini terjadi, menurut pakat komunikasi A. Muis (Kompas, 6 Oktober 1999), merupakan euforia politik karena yang selama ini terbendung ekarang bobol. Semua yang dulu dihalus-haluskan (eufemisme), sekarang dibuka blak-blakan.
Perubahan ini bag Benny Hoedoro Hoed (Kompas, 29 Juli 1999), adalah suatu yang wajar sebab dinamika kehidupan bahasa Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial politik. Dinamika perubahan itulah yang dipakai media massa.
Jadi, antara media massa dan masyarakat saling mempengaruhi, masyarakar mungkin terdistorsi oleh kesalahan penggunaan bahasa media massa tetapi media massa membantu perkembangan bahasa masyarakat.
1.4.1 Beberapa Kesalahan yang Diikuti Masyarakat
Kesalahan paling mencolok dari media massa yang kemudian diikuti masyarakat adalah pemakaian kata.Kesalahan pada struktur kalimat, masyarakat mencontoh penggunaan kalimat dalam media massa yang agak kurang bertanggungjawab.
Suroso (2001), dengan agak sengit menyebutkan penyimpangan media massa yang lain adalah penghilangan imbuhan dalam judul berita. Yang dihilangkan imbuhannya adalah kata kerja aktif. Namun kesalahan ini adalah satu-satunya yang boleh dilakukan, tampaknya ini merupakan sebuah keseoakatan tidak tertulis antara insan pers.
Rosihan Anwar (1984:87), mengatakan , “Saya pribadi tidak keberatan… Akan tetapi, pemakaiannya jangan sampai dipukul rata hingga merembet ke tubuh berita.”Sesungguhnya tradisi penghilangan imbuhan dimulai oleh pers Melayu-Tionghoa. Lantas Suroso juga menyebutkan perihal pemenggalan kata yang tidak tepat, persoalan yang satu ini menyangkut teknologi.
Anhar Gonggong (Kompas, 6 Oktober 1999), pakar sejarah yang juga pengamat komunikasi, mengatakan,”Media pada dasanya juga alat mendidik. Dengan bahasa yang baik dan tepat, apa yang dimaksud akan dengan mudah dapat cepat dipahami.
Yang kerap terjadi di media massa kita adalah penyalinan, tanpa mengubah sedikitpun, bahasa lisan menjadi bahasa tulis.Ini jelas merupakan kecerobohan besar, kecuali untuk kutipan langsung. Sebab, bagaimanapun, bahasa lisan lebih banyak cacatnya dibandingkan bahasa tulis. Karena itulah setiap pengelola media harusmenyadari bahwa medianya dibaca banyak orang sehingga ada kemungkinan bahasa medianya dijadikanmodel ketika orang belajar menulis (Sarwoko,2000).
1.4.2 Sumbangan Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia
Media massa bukan sekedar dunia informasi, melainkan juga dunia bahasa. Karena itu ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalistik maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi pejuang bahasa.
Seorang wartawan setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat serta dituntut kreatifitasnya dalam mengolah kata agar tulisannya tidak menbuat jenuh pembaca.. Karena itulah sering muncul “kata-kata baru” dari dunia jurnalistik. Kalau ditelisik lebih jauh maka akan ditemukan sederetan kata yang dipopulerkan kaum jurnalis, yang dipetik dari khasanah bahasa masyarakat ataupun dengan memberi makna baru terhadap kata yang sudah mati.
Sosok pejuang bahasa diperlihatkan dengan jelas oleh Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo. Dua wartawan muda inilah yang menggagas kongres bahasa pertama (1938) di Solo, Jawa Tengah. Jadi yang pertama-tama bukanlah guru atau ahli bahasayang amat peduli terhadap perkembangan bahasa sehingga perlu diadakan kongres.
IKLIM KOMUNIKASI DAN IKLIM ORGANISASI
A. PENGERTIAN
1. IKLIM ORGANISASI
Ikim organisasi menurut :
1. Tagiru (1968)
Iklim organisasi adalah :
kualitas yang relative badi dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan.
2. Payne dan Pugh (1976)
Iklim organisasi adalah :
Suatu konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilai-nilai umum, norma, sikap, timgkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu system sosial.
3. Litwin dan Stringers (1968)
Memberikan dimensi iklim organisasi sebagai berikut :
1. Rasa tanggung jawab.
2. Standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan.
3. Ganjaran atau reward.
4. Semangat tim.
4. Hillrieger dan Slacum (Jablin, 1987)
Iklim organisasi adalah :
Suatu set atribut organisasi dan subsistemnya yang dapat dirasakan oleh anggota organisasi, yang mungkin disebabkan oleh cara-cara organisasi atau subsistem, terhadap anggota dan lingkungannya.
Dari definisi diatas ada hal-hal yang disepakati dan ada hal-hal yang tidak disepakati, menurut Tompkins (1985) sebagai berikut :
1. Ada konsensus bahwa iklim organisasi adalah suatu konsep yang masih menjadi pembicaraan para ahli mengenai sifat yang dipunyai system secara keseluruhan atau organisasi secara keseluruhan atau subunit organisasi.
Jame dan Jones membedakan iklim psikologis yang dipersepsi individu mengenai organisasi dengan iklim organisasi yang menunjuk kepada ciri global dari lingkungan organisasi yang mencolok mata anggota.
2. Ada persetujuan bahwa iklim lebih bersifat deskriptif daripada efektif atau evaluatife.
3. Diterima secara umum bahwa iklim timbul dari dan diperkuat oleh praktik organisasi yang mungkin terbatas pada aktivitas yang sistematis dan yang telah menjadi kebiasaan mendalam, serta penting oleh organisasi atau anggotanya.
4. Ada ketidaksepakatan mengenai bagaimana iklim itu secara umum. Beberapa peneliti menduga bahwa suatu set dimensi atau pernyataan yang deskriptif dapat digunakan untuk mencirikan iklim dari system. Dimensi ini dikembangkan oleh Litwin dan Stringers (1968). Sebaliknya Schneider (Thompkin, 1985) mengemukakan bahwa organisasi mungkin mempunyai banyak iklim yang berbeda.
5. Juga diperdebatkan apakah iklim itu konsep yang objektif atau subjektif.
6. Diperkirakan bahwa iklim organisasi mempengaruhi tingkahlaku anggota organisasi.
7. Iklimjuga mempunyai pertalian dengan kultur organisasi.
Hasil-hasil penelitian mengenai iklim organisasi cenderung mendukung kesimpulan bahwa lebih positif iklim lebih produktif organisasi (Canpbell 1970).
2. IKLIM KOMUNIKASI
Redding (Goldhaber, 1986) mengemukakan lima dimensi penting dari iklim komunikasi :
1. “Supportiveness”, atau bawahan mengamati bahwa hubungan komunikasi mereka dengan atasan menbantu mereka membangun dan menjaga perasaan diri berharga dan penting.
2. Partisipasi membuat keputusan.
3. Kepercayaan, dapat dipercaya dan dapat menyimpan rahasia.
4. Keterbukaan dan keterusterangan.
5. Tujuan kinerja yang tinggi, pada tingkat mana tujuan kinerja dikomunikasikan dengan jelas kepada anggota organisasi.
Gibb menegaskan bahwa tingkah laku komunikasi tertentu dari anggota organisasi mengarahkan kepada iklim supportiveness. Diantara tingkah laku tersebut adalah sebagai berikut :
1. Deskripsi, anggota organisasi memfokuskan pesan mereka kepada kejadian yang dapat diamati dari pada evaluasi secara subjektif atau emosional.
2. Orientasi masalah, anggota organisasi memfokuskan komunikasi mereka kepada pemecahan kesulitan mereka secara bersama.
3. Spontanitas, anggota organisasi berkomunikasi dengan sopan dan berespon terhadap situasi yang terjadi.
4. Simpati, anggota organisasi memperlihatkan perhatian dan pengertian terhadap anggota lainnya.
5. Kesamaan, anggota organisasi memperlakukan anggota yang lain sebagai teman dan tidak menekankan kepada kedudukan dan kekuasaan.
6. Peovisionalism, anggota organisasi bersifat fleksibel dan menyesuaikan diri pada situasi komunikasi yang berbeda-beda.
Denis (1975) mengemukakan iklim komunikasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi, yamg mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubugan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi.Menurut Denis hanya ada empat dimensi iklim komunikasi yaitu : Supportiveness partisipasi pembuatan keputusan, keterbukaan dan keterus-terangan, dan tujuan penampilan yang tinggi.
Robert dan O’ Reily (Jablin, 1987) mengembangkan suatu pengukuran iklim komunikasi organisasi yang mencakup 35 item yang dirancang untuk mengukur 16 area komunikasi.
Munchinsky (1977) menemukan bahwa banyak dimensi penelitian Robert dan Reily ini berhubungan secara signifikan dengan iklim organisasi oleh Litwin dan Stringer’s.
1. IKLIM ORGANISASI
Ikim organisasi menurut :
1. Tagiru (1968)
Iklim organisasi adalah :
kualitas yang relative badi dari lingkungan internal organisasi yang dialami oleh anggota-anggotanya, mempengaruhi tingkah laku mereka serta dapat diuraikan dalam istilah nilai-nilai suatu set karakteristik tertentu dari lingkungan.
2. Payne dan Pugh (1976)
Iklim organisasi adalah :
Suatu konsep yang merefleksikan isi dan kekuatan dari nilai-nilai umum, norma, sikap, timgkah laku dan perasaan anggota terhadap suatu system sosial.
3. Litwin dan Stringers (1968)
Memberikan dimensi iklim organisasi sebagai berikut :
1. Rasa tanggung jawab.
2. Standar atau harapan tentang kualitas pekerjaan.
3. Ganjaran atau reward.
4. Semangat tim.
4. Hillrieger dan Slacum (Jablin, 1987)
Iklim organisasi adalah :
Suatu set atribut organisasi dan subsistemnya yang dapat dirasakan oleh anggota organisasi, yang mungkin disebabkan oleh cara-cara organisasi atau subsistem, terhadap anggota dan lingkungannya.
Dari definisi diatas ada hal-hal yang disepakati dan ada hal-hal yang tidak disepakati, menurut Tompkins (1985) sebagai berikut :
1. Ada konsensus bahwa iklim organisasi adalah suatu konsep yang masih menjadi pembicaraan para ahli mengenai sifat yang dipunyai system secara keseluruhan atau organisasi secara keseluruhan atau subunit organisasi.
Jame dan Jones membedakan iklim psikologis yang dipersepsi individu mengenai organisasi dengan iklim organisasi yang menunjuk kepada ciri global dari lingkungan organisasi yang mencolok mata anggota.
2. Ada persetujuan bahwa iklim lebih bersifat deskriptif daripada efektif atau evaluatife.
3. Diterima secara umum bahwa iklim timbul dari dan diperkuat oleh praktik organisasi yang mungkin terbatas pada aktivitas yang sistematis dan yang telah menjadi kebiasaan mendalam, serta penting oleh organisasi atau anggotanya.
4. Ada ketidaksepakatan mengenai bagaimana iklim itu secara umum. Beberapa peneliti menduga bahwa suatu set dimensi atau pernyataan yang deskriptif dapat digunakan untuk mencirikan iklim dari system. Dimensi ini dikembangkan oleh Litwin dan Stringers (1968). Sebaliknya Schneider (Thompkin, 1985) mengemukakan bahwa organisasi mungkin mempunyai banyak iklim yang berbeda.
5. Juga diperdebatkan apakah iklim itu konsep yang objektif atau subjektif.
6. Diperkirakan bahwa iklim organisasi mempengaruhi tingkahlaku anggota organisasi.
7. Iklimjuga mempunyai pertalian dengan kultur organisasi.
Hasil-hasil penelitian mengenai iklim organisasi cenderung mendukung kesimpulan bahwa lebih positif iklim lebih produktif organisasi (Canpbell 1970).
2. IKLIM KOMUNIKASI
Redding (Goldhaber, 1986) mengemukakan lima dimensi penting dari iklim komunikasi :
1. “Supportiveness”, atau bawahan mengamati bahwa hubungan komunikasi mereka dengan atasan menbantu mereka membangun dan menjaga perasaan diri berharga dan penting.
2. Partisipasi membuat keputusan.
3. Kepercayaan, dapat dipercaya dan dapat menyimpan rahasia.
4. Keterbukaan dan keterusterangan.
5. Tujuan kinerja yang tinggi, pada tingkat mana tujuan kinerja dikomunikasikan dengan jelas kepada anggota organisasi.
Gibb menegaskan bahwa tingkah laku komunikasi tertentu dari anggota organisasi mengarahkan kepada iklim supportiveness. Diantara tingkah laku tersebut adalah sebagai berikut :
1. Deskripsi, anggota organisasi memfokuskan pesan mereka kepada kejadian yang dapat diamati dari pada evaluasi secara subjektif atau emosional.
2. Orientasi masalah, anggota organisasi memfokuskan komunikasi mereka kepada pemecahan kesulitan mereka secara bersama.
3. Spontanitas, anggota organisasi berkomunikasi dengan sopan dan berespon terhadap situasi yang terjadi.
4. Simpati, anggota organisasi memperlihatkan perhatian dan pengertian terhadap anggota lainnya.
5. Kesamaan, anggota organisasi memperlakukan anggota yang lain sebagai teman dan tidak menekankan kepada kedudukan dan kekuasaan.
6. Peovisionalism, anggota organisasi bersifat fleksibel dan menyesuaikan diri pada situasi komunikasi yang berbeda-beda.
Denis (1975) mengemukakan iklim komunikasi sebagai kualitas pengalaman yang bersifat objektif mengenai lingkungan internal organisasi, yamg mencakup persepsi anggota organisasi terhadap pesan dan hubugan pesan dengan kejadian yang terjadi di dalam organisasi.Menurut Denis hanya ada empat dimensi iklim komunikasi yaitu : Supportiveness partisipasi pembuatan keputusan, keterbukaan dan keterus-terangan, dan tujuan penampilan yang tinggi.
Robert dan O’ Reily (Jablin, 1987) mengembangkan suatu pengukuran iklim komunikasi organisasi yang mencakup 35 item yang dirancang untuk mengukur 16 area komunikasi.
Munchinsky (1977) menemukan bahwa banyak dimensi penelitian Robert dan Reily ini berhubungan secara signifikan dengan iklim organisasi oleh Litwin dan Stringer’s.
SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA
A. Pendahuluan
Sistem berasal dari bahasa Yunani,systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (Shrode dan Voich, 1974) dan hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (Awad, 1979).
Tatang M. Amirin (1996), meringkas beberapa definisi system dalam sebuah definisi, yakni sekumpulan unsure yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dan hal ini dilakukan dengan cara mengolah data dan atau energi dan atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan atau energi dan atau barang (benda).
Dengan demikian sistem komunikasi bisa didefinisikan sebagai berikut, “Sekelompok orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, symbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.”
Dalam sebuah definisi system komunikasi paling tidak selalu ada :
1. Sekumpulan unsur
2. Tujuan system (menyebarkan informasi kepada khalayak, membentuk image positif dalam humas, persuasi)
3. Wujud hasil kegiatan atau proses system selam jangka waktu tertentu
4. Pengolahan data dan tau energi dan atau bahan
Sesuatu disebut system apabila memiliki ciri-ciri paling tidak sebagai berikut :
1. Adanya interdependensi, artinya komponen-komponen itu saling berkaitan, berinteraksi dan berinterdependensi secara keseluruhan. Tidak bekerjanya satu unsur akan mempengaruhi kenerja unsur-unsur yang lain.
2. Keluaran (output) daripadanya sesuai dan konsisten dengan tujuan yang sudah direncanakan.
3. Eksistensi kesatuan (totalitas) itu dipengaruhi oleh komponen-komponennya, sebaliknya eksistensi masing-masing komponen itu dipengaruhi kesatuannya.
4. Sebagai suatu kesatuan yang mempunyai masukan (input) dan keluaran (output) atau tujuan tertentu.
Corak sistem komunikasi dalam masyarakat Indonesia akan sangat ditentukan oleh corak, bentuk dan keragaman masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sistem Komunikasi Indonesia Bisa dibagi menjadi beberapa bagian :
1. Jika ditinjau dari segi wilayah geografisnya, sistem komunikasi bisa dibagi menjadi dua yakni :
a. Sistem komunikasi di pedesaan
b. Sistem komunikasi di perkotaan
2. Jika ditinjau dari media yang digunakan
a. Sistem media cetak
b. Sistem media Elektronik
c. Media tradisional
3. Jika ditinjau dari pola komunikasinya
a. Sistem komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication system)
b. Sistem komunikasi antar persona (interpersonal communication system)
c. Sistem komunikasi kelompok (small group communication system)
d. Sistem komunikasi massa (mass communication system)
B. Konsep-konsep Dalam Sistem Komunikasi
Komunikasi adalah bagian dimensi social yang khusus membahas pola interaksi antarmanusia (human communication) dengan menggunakan ide atau gagasan lewat lambing atau bunyi ujaran.
Talcott Parson (Soekanto, 1986) tentang hierarki sibernetis (cybernetic hierarchy) adalah sebuah sistem yang tarafnya tinggi membatasi penggunaan energi system yang lebih rendah, sedangkan system yang lebih rendah memberikan fasilitas dan menciptakan kondisi yang diperlukan oleh system yang lebih tinggi.
Hakikat system komunikasi (meminjam analogi dari Parson) adalah suatu pola hubungan yang saling melengkapi antarsistem dalam system komunikasi.
Pengendalian sibernetis beroperasi dalam tiga cara :
1. Proses pertukaran atau pengaruh timbal balik antarsub system terjadi melalui berbagai tipe media simbolis.
2. Proses itu juga berlangsung dengan memerlukan media simbolis distingtif (bersifat membedakan antarsatuan dan bahasa).
3. Adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi-integrasi keadaan laten menentukan tipe media simbolis yang di pergunakan dalam hubungan antar subsistem atau system.
Harold D. Laswell (1948), fungsi-fungsi komunikasi adalh sebagai berikut :
1. Penjagaan/ pengawasan lingkungan (surveillance of the environment)
2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya (correlation of the part of society in responding to the environment)
3. Menurunkan warisan social dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of the social herigate)
Ada tiga kelompok yang melaksanakan ketiga fungsi tersebut, yaitu :
1. Dijalankan oleh para diplomat, atase dan koresponden luar negeri sebagai usaha menjaga lingkungan.
2. Diperankan oleh para editor, wartawan dan juru bicara sebagai penghubung respon internal.
3. Para pendidik di dalam pendidikan informal atau formal karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke generasi.
Charles R. Wright (1988), menambahkan satu fungsi lagi yakni hiburan (entertainment).
Fungsi Sistem Komunikasi Indonesia :
1. Input (masukan), di dalamnya ditemukan data, bahan, informasi, peristiwa untuk dijadikan :bahan mentah” bagi proses system komunikasi.
2. Output ( keluaran) merupakan hasil atau konsekuensi dari bekerjanya system komunikasi yang mempunyai arti penting bagi masyarakat. Dalam output ini akan diperoleh sikap apatis (apathy) atau ganjaran (reward) masyarakat.
Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses hal mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud mengubah perilaku, definisi ini menekankan bahwa dalam komunikasi ada sebuah proses pengoperan (pemrosesan) ide, gagasan, lambang, dan di dalam prose itu melibatkan orang lain.
Dalam formulasi Harold D. Laswell itu biasa disebut who (siapa), says what (mengatakan apa), in which channel (lewat saluran mana), to whom (kepada siapa), withj what effect (efek apa yang diharapkan).
Beberapa sarjana Amerika membagi pola komunikasi menjadi lima, yakni :
1. komunikasi antar pribadi (interpersonal communication
2. komunikasi kelompok kecil (small group communication)
3. komunikasi organisasi (organizational communication)
4. komunikasi massa (mass communication)
5. komunikasi publik (public communication)
Josep A. Devito membagi pola komunikasi menjadi empat, yakni :
1. komunikasi antar pribadi
2. komunikasi kelompok kecil
3. komunikasi publik
4. komunikasi massa
Sistem berasal dari bahasa Yunani,systema yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (Shrode dan Voich, 1974) dan hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (Awad, 1979).
Tatang M. Amirin (1996), meringkas beberapa definisi system dalam sebuah definisi, yakni sekumpulan unsure yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dan hal ini dilakukan dengan cara mengolah data dan atau energi dan atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan atau energi dan atau barang (benda).
Dengan demikian sistem komunikasi bisa didefinisikan sebagai berikut, “Sekelompok orang, pedoman dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan, symbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.”
Dalam sebuah definisi system komunikasi paling tidak selalu ada :
1. Sekumpulan unsur
2. Tujuan system (menyebarkan informasi kepada khalayak, membentuk image positif dalam humas, persuasi)
3. Wujud hasil kegiatan atau proses system selam jangka waktu tertentu
4. Pengolahan data dan tau energi dan atau bahan
Sesuatu disebut system apabila memiliki ciri-ciri paling tidak sebagai berikut :
1. Adanya interdependensi, artinya komponen-komponen itu saling berkaitan, berinteraksi dan berinterdependensi secara keseluruhan. Tidak bekerjanya satu unsur akan mempengaruhi kenerja unsur-unsur yang lain.
2. Keluaran (output) daripadanya sesuai dan konsisten dengan tujuan yang sudah direncanakan.
3. Eksistensi kesatuan (totalitas) itu dipengaruhi oleh komponen-komponennya, sebaliknya eksistensi masing-masing komponen itu dipengaruhi kesatuannya.
4. Sebagai suatu kesatuan yang mempunyai masukan (input) dan keluaran (output) atau tujuan tertentu.
Corak sistem komunikasi dalam masyarakat Indonesia akan sangat ditentukan oleh corak, bentuk dan keragaman masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sistem Komunikasi Indonesia Bisa dibagi menjadi beberapa bagian :
1. Jika ditinjau dari segi wilayah geografisnya, sistem komunikasi bisa dibagi menjadi dua yakni :
a. Sistem komunikasi di pedesaan
b. Sistem komunikasi di perkotaan
2. Jika ditinjau dari media yang digunakan
a. Sistem media cetak
b. Sistem media Elektronik
c. Media tradisional
3. Jika ditinjau dari pola komunikasinya
a. Sistem komunikasi dengan diri sendiri (intrapersonal communication system)
b. Sistem komunikasi antar persona (interpersonal communication system)
c. Sistem komunikasi kelompok (small group communication system)
d. Sistem komunikasi massa (mass communication system)
B. Konsep-konsep Dalam Sistem Komunikasi
Komunikasi adalah bagian dimensi social yang khusus membahas pola interaksi antarmanusia (human communication) dengan menggunakan ide atau gagasan lewat lambing atau bunyi ujaran.
Talcott Parson (Soekanto, 1986) tentang hierarki sibernetis (cybernetic hierarchy) adalah sebuah sistem yang tarafnya tinggi membatasi penggunaan energi system yang lebih rendah, sedangkan system yang lebih rendah memberikan fasilitas dan menciptakan kondisi yang diperlukan oleh system yang lebih tinggi.
Hakikat system komunikasi (meminjam analogi dari Parson) adalah suatu pola hubungan yang saling melengkapi antarsistem dalam system komunikasi.
Pengendalian sibernetis beroperasi dalam tiga cara :
1. Proses pertukaran atau pengaruh timbal balik antarsub system terjadi melalui berbagai tipe media simbolis.
2. Proses itu juga berlangsung dengan memerlukan media simbolis distingtif (bersifat membedakan antarsatuan dan bahasa).
3. Adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi-integrasi keadaan laten menentukan tipe media simbolis yang di pergunakan dalam hubungan antar subsistem atau system.
Harold D. Laswell (1948), fungsi-fungsi komunikasi adalh sebagai berikut :
1. Penjagaan/ pengawasan lingkungan (surveillance of the environment)
2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungannya (correlation of the part of society in responding to the environment)
3. Menurunkan warisan social dari generasi ke generasi berikutnya (transmission of the social herigate)
Ada tiga kelompok yang melaksanakan ketiga fungsi tersebut, yaitu :
1. Dijalankan oleh para diplomat, atase dan koresponden luar negeri sebagai usaha menjaga lingkungan.
2. Diperankan oleh para editor, wartawan dan juru bicara sebagai penghubung respon internal.
3. Para pendidik di dalam pendidikan informal atau formal karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke generasi.
Charles R. Wright (1988), menambahkan satu fungsi lagi yakni hiburan (entertainment).
Fungsi Sistem Komunikasi Indonesia :
1. Input (masukan), di dalamnya ditemukan data, bahan, informasi, peristiwa untuk dijadikan :bahan mentah” bagi proses system komunikasi.
2. Output ( keluaran) merupakan hasil atau konsekuensi dari bekerjanya system komunikasi yang mempunyai arti penting bagi masyarakat. Dalam output ini akan diperoleh sikap apatis (apathy) atau ganjaran (reward) masyarakat.
Everett M. Rogers, Komunikasi adalah proses hal mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud mengubah perilaku, definisi ini menekankan bahwa dalam komunikasi ada sebuah proses pengoperan (pemrosesan) ide, gagasan, lambang, dan di dalam prose itu melibatkan orang lain.
Dalam formulasi Harold D. Laswell itu biasa disebut who (siapa), says what (mengatakan apa), in which channel (lewat saluran mana), to whom (kepada siapa), withj what effect (efek apa yang diharapkan).
Beberapa sarjana Amerika membagi pola komunikasi menjadi lima, yakni :
1. komunikasi antar pribadi (interpersonal communication
2. komunikasi kelompok kecil (small group communication)
3. komunikasi organisasi (organizational communication)
4. komunikasi massa (mass communication)
5. komunikasi publik (public communication)
Josep A. Devito membagi pola komunikasi menjadi empat, yakni :
1. komunikasi antar pribadi
2. komunikasi kelompok kecil
3. komunikasi publik
4. komunikasi massa
Sabtu, 22 Januari 2011
KOMUNIKASI MASSA
BAB I PENGERTIAN KOMUNIKASI
Orang perlu berkomunikasi karena orang perlu menyampaikan sesuatu, perlu menyampaikan pikiran atau perasaan kepada orang lain. Pikiran atau perasaan yang ingin disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain disebut pesan (message).Orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator, sedang yang menerima pesan disebut komunikan atau komunikate (communicate).
Reardon (1987 : 1-3) menjabarkan enam karakteristik komunikasi manusia :
1. Orang bekomunikasi dengan bermacam-macam alasan.
2. Komunikasi dapat menghasilkan akibat yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
3. Komunikasi sering diakukan secara timbal balik.
4. Komunikasi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang yang saling mempengaruhi tindakan masing-masing.
5. Komunikasi yang terjadi tidak selamanya berhasil.
6. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol.
Rumusan komunikasi yang sangat dikenal di kalangan orang yang mempelajari komunikasi adalah rumusan yang dibuat oleh “Harold D Laswell”, yaitu “who says what in which channel to whom with what effect”.
Joseph A. De Vito (1989 : 3) merumuskan komunikasi sebagi “proses pengiriman dan penerimaan pesan di antara dua orang atau kelompok dengan orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika”.
Konsep-konsep dasar komunikasi yang terdapat dalam kegiatan komunikasi:
Sumber – Penerima (Source – Receiver)
Komunikasi paling sedikit melibatkan dua orang, masing-masing orang merumuskan dan mengirimkan pesan (fungsi sumber) danjuga merasakan dan memahami pesan yang disampaikan (fungsi penerima).
Pengiriman Sandi – Pemahaman Sandi (Encoding – Decoding)
Tindakan untuk menghasilkan dab mengiarimkan pesan disebut encoding, dan tindakan untuk memahami pesan atau sandi disebut decoding. Dengan demikian dapat dinyatakan pembicara dan penulis sebagai encoders (pengirim sandi), dan pendengar dan pembaca sebagai decoders (pemaham sandi).
Kemampuan (Competence)
Kemampuan komunikasi, menggunkan kemampuan berbahasa sebagai dasarnya, namun meliputi juga pengetahuan mengenai tata aturan berkomunikasi.
Pesan (Messages)
Agar komunikasi berlangsung baik, pesan yang merupakan signal perangsang bagi seorang penerima harus dikirim dan diterima.
Umpan Balik (Feedback)
Pesan yang dikirim untuk menanggapi pesan orang lain disebut umpan balik.
Umpan Muka (Feed forward)
Umpan muka merupakan informasi mengenai pesan-pesan yang akan dikirim yang disampaikandi muka.
Saluran (Channel)
Saluran komunikasi adalah medium yang dilalui oleh pesan, fungsinya menjembatani antara sumber dan penerima.
Gangguan (Noise)
Gangguan adalah sesuatu yang menyimpang atau mengganggu penerimaan pesan. Terdapat tiga macam gangguan, yaitu :
1. Gangguan fisis
Gangguan fisis mengganggu transmisi fisik dari tanda atau pesan.
2. Gangguan psikologis
Gangguan psikologis meliputi bentuk-bentuk gangguan psikologis termasuk prasangka yang dimiliki pengirim dan penerima, sehingga menyebabkan menyimpangnya pesan yang diterima dan diproses.
3. Gangguan semantik
Dalam gangguan semantik, gangguan berupa tidak diperolehnya makna oleh penerima seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.
Konteks (Context)
Konteks menggambarkan lingkungan fisis, social-psikologis, dan waktu yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadapbentuk dan isi komunikasi.
Konteks komunikasi sedikitnya memiliki tiga dimensi, yaitu :
1. Dimensi fisis
2. Dimensi social-psikologis
3. Dimensi temporal
Bidang Pengalaman (Field of Experience)
Akibat (Effects)
Etika (Ethics)
BAB II PENGERTIAN KOMUNIKASI MASSA
Charles Cooley pada tahun 1909 memberikan definisi yang bersifat sosiologis, Komunikasi adalah mekanisme di mana relasi manusia ada danberkembang melalui semua symbol pikiran, bersama degan alat untuk menyalurkannya melalui ruang dan mempertahankannya sepanjang waktu.
Claude Shannon dan Warren Weaver, Kata komunikasi akan digunakan dalam arti yang sangat luas yang meliputi semua prosedur di mana satu pikiran dapat memengaruhi lainnya.
Berdasarkan ilmu teknik, E. Colin Cherry, komunikasi adalah apa yang menghubungkan setiap organisasi dengan lainnya.
S. S. Stevens, seorang psikolog perilaku, Komunikasi sebagai respn yang berbeda dari suatu organism terhadap suatu stimulus.
Harold D. Laswell, Suatu cara yang nyaman untuk menggambarkan komunikai adalah dengan menjawab pertanyaan berikut ini : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect.
Wilbur Schramm, seorang perintis penelitian komunikasi massa menawawkan definisi ini ; Ketika kita berkomunikasi kita mencoba membagi bersama informasi, ide, atau sikap. Komunikasi selalu memerlukan paling tidak tiga unsure, yakni : sumber, pesan, dan tujuan.
KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi massa pada dasarnya mempunyai proses yang melibatkan beberapa komponen. Dua kompenen yang berinteraksi (sumber dan penerima) terlibat : pesan yang diberi kode oleh sumber (encoded), disalurkan melalui sebuah saluran, dan diberi kode oleh penerima (decoded), tanggapn yang diamati penerima, umpan balik yang memungkinkan interaksi berlanjut antara sumber dan penerima.
Beberapa cirri khusus komunikasi masa yang membedakan dengan komunikasi interpersonal :
A. Sifat penerima, memfokuskan pada masyarakat massa
Herbert Blumer, dengan menggunakan konsep-konsepnyang berasal dari teori-teori masyarakat massa memberikan cirri-ciri khalayak massa sebagai :
1. Heterogen dalam komposisi, anggota-anggotanya berasal dari kelompok-kelompok bereda dalam masyarakat.
2. Kelompok individu yang tidak mengetahui satu sama lain, yang terpisah erdasarkan kekhususan satu sama lain dan yang tidak berinteraksi satu sama lain.
3. Tidak mempunyai kepmimpinan atau organisasi formal.
Gerbner, Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi secara institusional dan teknologis dari sebagian besar aliran pesan yang dimiliki bersama secara berkelanjutan dalam masyarakat-masyarakat industrial.
B. Pesan yang dikirimkan kepada para penerima secara tiak langsung menggunakan beberapa bentuk alat teknis.
C. Komunikasi tersebut disengaja atau tujuan diarahkan.
Harold D. Laswell pada 1948 dalam “The Structure and Function of Communication in Society”, Laswell mendiskusikan tiga fungsi atau tujuan dari komunikasi dalam suatu masyarakat, yang secara luas didefinisikan olehnya sebagai “masyarakat
1. Surveillance (Pengawasan)
2. Correlating of the components of society in making a response to the environment (menghubungkan komponen-komponen masyarakat dlam memberikan tanggapan terhadap lingkungan).
3. Transmission of the social inheritance (pelimpahan warisan sosial).
BAB III PENGGUNAAN DAN FUNGSI KOMUNIKASI MASSA
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara media, masyarakat, dan individu disebut pendekatan fungsional.
Peran Komunikasi Massa
Disatu sisi kita dapat menggunakan perspektif dari ahli sosiologi dan meninjau melalui lensa yang lebar dan mempertimbangkan fungsi-fungsi yang ditampilkan media masa terhadap masyarakat secara keeluruhan (analisis makro).
Di sisi lain kita dapat melihat melalui lensa pembesar pada para penerima isi, halayak secar individual, dan mennyakan kepada mereka untuk melaporkan bagaimana mereka menggunakan media massa (analisis mikro).
Fungsi Komunikasi Massa bagi Masyarakat
Joseph R. Dominick dalam bukunya “The Dynamics of Communication”.
Pengawasan (surveillance)
Pengawasan merujuk pada apa yang secara popular disebut berita dan peran informasi media.
Fungsi pengawasan dapat dibagi ke dalam dua jenis :
1. Peringatan/ pengawasan waspada
2. Pengawasan instrumental
Beberapa pengaruh dari media massa untuk menampilkan fungsi pengawasan yaitu : berita mengantarkan lebih cepat khususnya dngan adanya media elektronik, edikit lebih halus.
Penafsiran (Interpretation)
Penghubung (Linkage)
Penerusan Nilai-nilai (Transmission of Values) atau fungsi sosialisasi
Hiburan (Entertainment)
Bagaimana Orang Menggunakan Media
Pada tingkat individual, pendekatan fungsional secar umum disebut uses and gratification model, menempatkan bahwa anggota khalayak mempunyai kebutuhan-kebutuhan atu dorongan-dorongan tertentu yang dipuaskan dengan menggunakan baik sumberdaya media aupun nonmedia.
Kebutuhan-kebutuhan actual yang dipuaskan oleh media disebut media gratification (kepuasan media).
Beberapa peneliti telah mengklasifikasikan bermacam-macam penggunaan dan kepuasan media ke dalam empat system kategori :
1. Pengetahuan (cognition)
Pengetahuan berarti tindakan yang diambil untuk mengetahui sesuatu.
Pada tingkat analisis nmakro pada tingkat individual, par peneliti mencatat bahwa ada dua jenis fungsi kognitif yang berbeda yang ditampilkan, salah satunya harus bekerja dengan menggunakan media untuk mengikuti kejadian-kejadian mutakhir, sementar yanglainnya harus bekerja dengan menggunakan media untuk memelajari tentangg sesuatu secara umum atau sesuatu yang menghubungkan keingintahuan seeorang secara umum.
2. Pelepasan (diversion)
Kebutuhan dasar manusia adalah hiburan yang dapat bermacam-macam. Beberapa bentuk ini yang digambarkanoleh para peneliti meliputi :
a. Stimulasi/semangat, atau usaha pembebasan dari kebosanan atau aktivitas rutin sehari-hari atau kehidupan setiap hari.
b. Relaksasi atau melarikan diri dari tekanan dan masalah-masalah hidup sehari-hari
c. Pelepasan emosional mengenai emosi danenergi yang terpendam.
3. Kegunaan social (social utility)
4. Penarikan diri dari masyarakat (withdrawal)
Orang perlu berkomunikasi karena orang perlu menyampaikan sesuatu, perlu menyampaikan pikiran atau perasaan kepada orang lain. Pikiran atau perasaan yang ingin disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lain disebut pesan (message).Orang yang menyampaikan pesan disebut komunikator, sedang yang menerima pesan disebut komunikan atau komunikate (communicate).
Reardon (1987 : 1-3) menjabarkan enam karakteristik komunikasi manusia :
1. Orang bekomunikasi dengan bermacam-macam alasan.
2. Komunikasi dapat menghasilkan akibat yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
3. Komunikasi sering diakukan secara timbal balik.
4. Komunikasi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang yang saling mempengaruhi tindakan masing-masing.
5. Komunikasi yang terjadi tidak selamanya berhasil.
6. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol.
Rumusan komunikasi yang sangat dikenal di kalangan orang yang mempelajari komunikasi adalah rumusan yang dibuat oleh “Harold D Laswell”, yaitu “who says what in which channel to whom with what effect”.
Joseph A. De Vito (1989 : 3) merumuskan komunikasi sebagi “proses pengiriman dan penerimaan pesan di antara dua orang atau kelompok dengan orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika”.
Konsep-konsep dasar komunikasi yang terdapat dalam kegiatan komunikasi:
Sumber – Penerima (Source – Receiver)
Komunikasi paling sedikit melibatkan dua orang, masing-masing orang merumuskan dan mengirimkan pesan (fungsi sumber) danjuga merasakan dan memahami pesan yang disampaikan (fungsi penerima).
Pengiriman Sandi – Pemahaman Sandi (Encoding – Decoding)
Tindakan untuk menghasilkan dab mengiarimkan pesan disebut encoding, dan tindakan untuk memahami pesan atau sandi disebut decoding. Dengan demikian dapat dinyatakan pembicara dan penulis sebagai encoders (pengirim sandi), dan pendengar dan pembaca sebagai decoders (pemaham sandi).
Kemampuan (Competence)
Kemampuan komunikasi, menggunkan kemampuan berbahasa sebagai dasarnya, namun meliputi juga pengetahuan mengenai tata aturan berkomunikasi.
Pesan (Messages)
Agar komunikasi berlangsung baik, pesan yang merupakan signal perangsang bagi seorang penerima harus dikirim dan diterima.
Umpan Balik (Feedback)
Pesan yang dikirim untuk menanggapi pesan orang lain disebut umpan balik.
Umpan Muka (Feed forward)
Umpan muka merupakan informasi mengenai pesan-pesan yang akan dikirim yang disampaikandi muka.
Saluran (Channel)
Saluran komunikasi adalah medium yang dilalui oleh pesan, fungsinya menjembatani antara sumber dan penerima.
Gangguan (Noise)
Gangguan adalah sesuatu yang menyimpang atau mengganggu penerimaan pesan. Terdapat tiga macam gangguan, yaitu :
1. Gangguan fisis
Gangguan fisis mengganggu transmisi fisik dari tanda atau pesan.
2. Gangguan psikologis
Gangguan psikologis meliputi bentuk-bentuk gangguan psikologis termasuk prasangka yang dimiliki pengirim dan penerima, sehingga menyebabkan menyimpangnya pesan yang diterima dan diproses.
3. Gangguan semantik
Dalam gangguan semantik, gangguan berupa tidak diperolehnya makna oleh penerima seperti yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.
Konteks (Context)
Konteks menggambarkan lingkungan fisis, social-psikologis, dan waktu yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadapbentuk dan isi komunikasi.
Konteks komunikasi sedikitnya memiliki tiga dimensi, yaitu :
1. Dimensi fisis
2. Dimensi social-psikologis
3. Dimensi temporal
Bidang Pengalaman (Field of Experience)
Akibat (Effects)
Etika (Ethics)
BAB II PENGERTIAN KOMUNIKASI MASSA
Charles Cooley pada tahun 1909 memberikan definisi yang bersifat sosiologis, Komunikasi adalah mekanisme di mana relasi manusia ada danberkembang melalui semua symbol pikiran, bersama degan alat untuk menyalurkannya melalui ruang dan mempertahankannya sepanjang waktu.
Claude Shannon dan Warren Weaver, Kata komunikasi akan digunakan dalam arti yang sangat luas yang meliputi semua prosedur di mana satu pikiran dapat memengaruhi lainnya.
Berdasarkan ilmu teknik, E. Colin Cherry, komunikasi adalah apa yang menghubungkan setiap organisasi dengan lainnya.
S. S. Stevens, seorang psikolog perilaku, Komunikasi sebagai respn yang berbeda dari suatu organism terhadap suatu stimulus.
Harold D. Laswell, Suatu cara yang nyaman untuk menggambarkan komunikai adalah dengan menjawab pertanyaan berikut ini : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect.
Wilbur Schramm, seorang perintis penelitian komunikasi massa menawawkan definisi ini ; Ketika kita berkomunikasi kita mencoba membagi bersama informasi, ide, atau sikap. Komunikasi selalu memerlukan paling tidak tiga unsure, yakni : sumber, pesan, dan tujuan.
KOMUNIKASI MASSA
Komunikasi massa pada dasarnya mempunyai proses yang melibatkan beberapa komponen. Dua kompenen yang berinteraksi (sumber dan penerima) terlibat : pesan yang diberi kode oleh sumber (encoded), disalurkan melalui sebuah saluran, dan diberi kode oleh penerima (decoded), tanggapn yang diamati penerima, umpan balik yang memungkinkan interaksi berlanjut antara sumber dan penerima.
Beberapa cirri khusus komunikasi masa yang membedakan dengan komunikasi interpersonal :
A. Sifat penerima, memfokuskan pada masyarakat massa
Herbert Blumer, dengan menggunakan konsep-konsepnyang berasal dari teori-teori masyarakat massa memberikan cirri-ciri khalayak massa sebagai :
1. Heterogen dalam komposisi, anggota-anggotanya berasal dari kelompok-kelompok bereda dalam masyarakat.
2. Kelompok individu yang tidak mengetahui satu sama lain, yang terpisah erdasarkan kekhususan satu sama lain dan yang tidak berinteraksi satu sama lain.
3. Tidak mempunyai kepmimpinan atau organisasi formal.
Gerbner, Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi secara institusional dan teknologis dari sebagian besar aliran pesan yang dimiliki bersama secara berkelanjutan dalam masyarakat-masyarakat industrial.
B. Pesan yang dikirimkan kepada para penerima secara tiak langsung menggunakan beberapa bentuk alat teknis.
C. Komunikasi tersebut disengaja atau tujuan diarahkan.
Harold D. Laswell pada 1948 dalam “The Structure and Function of Communication in Society”, Laswell mendiskusikan tiga fungsi atau tujuan dari komunikasi dalam suatu masyarakat, yang secara luas didefinisikan olehnya sebagai “masyarakat
1. Surveillance (Pengawasan)
2. Correlating of the components of society in making a response to the environment (menghubungkan komponen-komponen masyarakat dlam memberikan tanggapan terhadap lingkungan).
3. Transmission of the social inheritance (pelimpahan warisan sosial).
BAB III PENGGUNAAN DAN FUNGSI KOMUNIKASI MASSA
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara media, masyarakat, dan individu disebut pendekatan fungsional.
Peran Komunikasi Massa
Disatu sisi kita dapat menggunakan perspektif dari ahli sosiologi dan meninjau melalui lensa yang lebar dan mempertimbangkan fungsi-fungsi yang ditampilkan media masa terhadap masyarakat secara keeluruhan (analisis makro).
Di sisi lain kita dapat melihat melalui lensa pembesar pada para penerima isi, halayak secar individual, dan mennyakan kepada mereka untuk melaporkan bagaimana mereka menggunakan media massa (analisis mikro).
Fungsi Komunikasi Massa bagi Masyarakat
Joseph R. Dominick dalam bukunya “The Dynamics of Communication”.
Pengawasan (surveillance)
Pengawasan merujuk pada apa yang secara popular disebut berita dan peran informasi media.
Fungsi pengawasan dapat dibagi ke dalam dua jenis :
1. Peringatan/ pengawasan waspada
2. Pengawasan instrumental
Beberapa pengaruh dari media massa untuk menampilkan fungsi pengawasan yaitu : berita mengantarkan lebih cepat khususnya dngan adanya media elektronik, edikit lebih halus.
Penafsiran (Interpretation)
Penghubung (Linkage)
Penerusan Nilai-nilai (Transmission of Values) atau fungsi sosialisasi
Hiburan (Entertainment)
Bagaimana Orang Menggunakan Media
Pada tingkat individual, pendekatan fungsional secar umum disebut uses and gratification model, menempatkan bahwa anggota khalayak mempunyai kebutuhan-kebutuhan atu dorongan-dorongan tertentu yang dipuaskan dengan menggunakan baik sumberdaya media aupun nonmedia.
Kebutuhan-kebutuhan actual yang dipuaskan oleh media disebut media gratification (kepuasan media).
Beberapa peneliti telah mengklasifikasikan bermacam-macam penggunaan dan kepuasan media ke dalam empat system kategori :
1. Pengetahuan (cognition)
Pengetahuan berarti tindakan yang diambil untuk mengetahui sesuatu.
Pada tingkat analisis nmakro pada tingkat individual, par peneliti mencatat bahwa ada dua jenis fungsi kognitif yang berbeda yang ditampilkan, salah satunya harus bekerja dengan menggunakan media untuk mengikuti kejadian-kejadian mutakhir, sementar yanglainnya harus bekerja dengan menggunakan media untuk memelajari tentangg sesuatu secara umum atau sesuatu yang menghubungkan keingintahuan seeorang secara umum.
2. Pelepasan (diversion)
Kebutuhan dasar manusia adalah hiburan yang dapat bermacam-macam. Beberapa bentuk ini yang digambarkanoleh para peneliti meliputi :
a. Stimulasi/semangat, atau usaha pembebasan dari kebosanan atau aktivitas rutin sehari-hari atau kehidupan setiap hari.
b. Relaksasi atau melarikan diri dari tekanan dan masalah-masalah hidup sehari-hari
c. Pelepasan emosional mengenai emosi danenergi yang terpendam.
3. Kegunaan social (social utility)
4. Penarikan diri dari masyarakat (withdrawal)
Rabu, 05 Januari 2011
HUBUNGAN MASYARAKAT
Hubungan masyarakat, atau sering disingkat humas adalah seni menciptakan pengertian publik yang lebih baik sehingga dapat memperdalam kepercayaan publik terhadap suatu individu/ organisasi
Menurut IPRA (International Public Relations Association) Humas adalah fungsi manajemen dari ciri yang terencana dan berkelanjutan melalui organisasi dan lembaga swasta atau publik (public) untuk memperoleh pengertian, simpati, dan dukungan dari mereka yang terkait atau mungkin ada hubungannya dengan penelitian opini public diantara mereka.
fungsi humas
Menurut Edward L.Bernays humas memiliki fungsi sebagai berikut :
1. memberikan penerangan kepada publik,
2. melakukan persuasi kepada publik untuk mengubah sikap dan tingkah laku publik
3. Upaya untuk menyatukan sikap dan perilaku suatu lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat, atau sebaliknya.
Menurut IPRA (International Public Relations Association) Humas adalah fungsi manajemen dari ciri yang terencana dan berkelanjutan melalui organisasi dan lembaga swasta atau publik (public) untuk memperoleh pengertian, simpati, dan dukungan dari mereka yang terkait atau mungkin ada hubungannya dengan penelitian opini public diantara mereka.
fungsi humas
Menurut Edward L.Bernays humas memiliki fungsi sebagai berikut :
1. memberikan penerangan kepada publik,
2. melakukan persuasi kepada publik untuk mengubah sikap dan tingkah laku publik
3. Upaya untuk menyatukan sikap dan perilaku suatu lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat, atau sebaliknya.
Langganan:
Postingan (Atom)