Senin, 24 Januari 2011

BAHASA INDONESIA JURNALISTIK

1.1 Apa itu Bahasa Jurnalistik

Para sesepuh jurnalistik ataupun sesepuh bahasa kerap mengatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus bersandar pada bahasa baku.
Menurut Wojowasito (via Anwar, 1984:1), bahasa jurnalistik yang baik haruslah sesuai dengan normatata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar, pilihan kata yang cocok.
Anton M. Moeliono (1994), Konsultan Pusat Bahasa, mengatakan bahwa laras bahasa jurnalistik tergolong ragam bahasa baku.
Terbukti bahwa bahasa jurnalistik dan bahasa Indonesia baku tidak berbeda, yang membedakan hanyalah pada penggunaannya.
Rosihan Anwar (1994:1) , mengatakan , “Bahasa jurnalistik mempunyai sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik.
Moeliono (1994), menambahi bahwa bahasa jurnalistik memiliki kekhasan diksi yang dicirikan oleh upaya ekonomi kata, kekhasan pengalimatan yang ditandai oleh pemendekan kalimat.
Jus Badudu (1992:62), bahasa jurnalistik harus sederhana dan mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif berarti bahasa pers harus tidak bertele-tele tetapi tidak terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh pewarta atau media massa untuk menyampaikan informasi, bahasa dengan ciri-ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.









1.2 Bahasa Jurnalistik di Antara Ragam dan Laras Bahasa Lain

Bahasa jurnalistik adalah sebuah laras bahasa. Sebagai penyampai informasi, laras bahasa jurnalistik selalu bersinggungan dengan laras bahas lainnya, karena sebagai penyampai informasi diharapkan mampu menjembatani antarlaras bahasa itu. Dengan kata lain, pewarta dapat bereksplorasi dengan laras bahasa lain sehingga bahasa yang digunakan lebih variatif dan enak dibaca.
Bahasa jurnalistik juga harus akrab dengan ragam kedaerahan atau dialek, sebab dengan demikian bahasa yang dipaki untuk menyampaikan informasi tentang suatu peristiwa kedaerahan dapat lebih berwarna. Dengan begitu informasi yang disampaikan dapat dipahami dan pembaca menyadari bahwa peristiwa tersebut terjadi disuatu tempat.

Bahasa yang digunakan untuk menyampaikan informasi adalah ragam bahasa baku, karena hanya bahasa baku yang pemakaiannya luas dan memiliki ciri kecendekiaan. Maka bahasa jurnalistik wajib memelihara bahasa Indonesia.
Menurut Anton M. Moeliono (1994), antara laras bahasa jurnalistik dan laras bahasa baku saling membutuhkan. Ragam bahasa baku ingin menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern yang setara dengan bahasa lain di dunia, sedang laras bahasa jurnalistik memerlukan pengungkapan diri secara modern.
Bahasa yang digunakan media massa bersandar pada bahasa baku tetapi pemakaiannya berbeda, struktur kalimatnya lebih longgar, tidak normatif, pilihan katanya juga lebih bebas, dan tanpa beban perihal kebakuan. Yang membedakannya adalah bahasa jurnalistikharus bertutur dengan santai, meskipun harus tetap memperhatikan norma-norma kebahasaan.
Bahasa jurnalistik berada diantara ragam baku resmi dan santai, antara bahasa lisan dan tulis.
Maka bahasa jurnalistik dari sisi penggunaan bahasa dapat disebut sebagai ragam bahsa tengah-tengah atau medial.

1.3 Bahasa Jurnalistik dan Sastra

Kebebasan penggunaan bahasa di media massa sempat membuat iri para sastrawan, karena itu banyak sastrawan yang beramai-ramai menjadi wartawa. Mungkin lantaran dunia jurnalistik dan sastra sama-sama menuntut kreatifitas dalam berbahasa, ketika sastrawan menjadi wartawan merasa tidak berpindak dunia. Benar begitu? Tanyalah Gorys Keraf. Kata pakar bahasa ini, yang sekarang sudah almarhum, kepada harian Berita Buana (17 April 1991), dalam bahasa jurnalistik ada kemerdekaan pengungkapan seperti halnya bahasa sastra.




Itulah mengapa bahasa dalam tulisan jurnalistik masa kini lebih kaya warna. Selain informasi kini pembaca juga disuguhi bahasa yang enak dan indah. Penulis berita bukan Cuma memilih kata yang tepat agar penyampaian berita tepat sasaran, tetapi juga agar menimbulkan efek bunyi yang enak (eufoni).
Bahasa yang digunakan dalam reportase dan satra agaknya sudah semakkin tipis perbedaannya.
Hasan junus (Kompas, 8 Oktober 1999), mengatakan suatu tulisan akan dipandang benar-benar sebagai karya sastra ketika dipandang dari sudut sastra, tetapi ketika dipandang dari sudut jurnalistik tulisan itu benar-benar menjadi karya jrnalistik.

1.4 Bahasa Jurnalistik dan Masyarakat

Sejak awal keberadaannya, bahasa jurnalistik sudah membedakan diri dengan bahasa yang sangat resmi. Hingga kini , kendati menggunakan bahasa yang cenderung resmi tetap saja itu merupakan bahasa sehari-hari yang tidak sama persis dengan bahasa resmi.


Karena itu tidak salah bila ada yang bilang bahwa bahasa jurnalistik adalah cerminan bahasa masyarakat, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang hidup atau dipakai di masyarakat. Namun Harimurti Kridalaksana tidak sependapat, Menurunguru besar linguistik ini (2000), yang terjadi kini justru bahasa media massa dipakai sebagai model penggunaan bahasa. Disini terbukti bahwa media massa mampu membentuk opini masyarakat.
Pada era reformasi media lebih banyak menggunakankosakata yang lebih tegas, selain kosakata yang bersifat menyerang dan agak barbar. Hal ini terjadi, menurut pakat komunikasi A. Muis (Kompas, 6 Oktober 1999), merupakan euforia politik karena yang selama ini terbendung ekarang bobol. Semua yang dulu dihalus-haluskan (eufemisme), sekarang dibuka blak-blakan.
Perubahan ini bag Benny Hoedoro Hoed (Kompas, 29 Juli 1999), adalah suatu yang wajar sebab dinamika kehidupan bahasa Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial politik. Dinamika perubahan itulah yang dipakai media massa.
Jadi, antara media massa dan masyarakat saling mempengaruhi, masyarakar mungkin terdistorsi oleh kesalahan penggunaan bahasa media massa tetapi media massa membantu perkembangan bahasa masyarakat.

1.4.1 Beberapa Kesalahan yang Diikuti Masyarakat
Kesalahan paling mencolok dari media massa yang kemudian diikuti masyarakat adalah pemakaian kata.Kesalahan pada struktur kalimat, masyarakat mencontoh penggunaan kalimat dalam media massa yang agak kurang bertanggungjawab.
Suroso (2001), dengan agak sengit menyebutkan penyimpangan media massa yang lain adalah penghilangan imbuhan dalam judul berita. Yang dihilangkan imbuhannya adalah kata kerja aktif. Namun kesalahan ini adalah satu-satunya yang boleh dilakukan, tampaknya ini merupakan sebuah keseoakatan tidak tertulis antara insan pers.
Rosihan Anwar (1984:87), mengatakan , “Saya pribadi tidak keberatan… Akan tetapi, pemakaiannya jangan sampai dipukul rata hingga merembet ke tubuh berita.”Sesungguhnya tradisi penghilangan imbuhan dimulai oleh pers Melayu-Tionghoa. Lantas Suroso juga menyebutkan perihal pemenggalan kata yang tidak tepat, persoalan yang satu ini menyangkut teknologi.
Anhar Gonggong (Kompas, 6 Oktober 1999), pakar sejarah yang juga pengamat komunikasi, mengatakan,”Media pada dasanya juga alat mendidik. Dengan bahasa yang baik dan tepat, apa yang dimaksud akan dengan mudah dapat cepat dipahami.
Yang kerap terjadi di media massa kita adalah penyalinan, tanpa mengubah sedikitpun, bahasa lisan menjadi bahasa tulis.Ini jelas merupakan kecerobohan besar, kecuali untuk kutipan langsung. Sebab, bagaimanapun, bahasa lisan lebih banyak cacatnya dibandingkan bahasa tulis. Karena itulah setiap pengelola media harusmenyadari bahwa medianya dibaca banyak orang sehingga ada kemungkinan bahasa medianya dijadikanmodel ketika orang belajar menulis (Sarwoko,2000).


1.4.2 Sumbangan Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia
Media massa bukan sekedar dunia informasi, melainkan juga dunia bahasa. Karena itu ketika seseorang berniat menerjuni profesi jurnalistik maka sesungguhnya ia juga berniat menjadi pejuang bahasa.
Seorang wartawan setiap hari bergelut dengan kata dan kalimat serta dituntut kreatifitasnya dalam mengolah kata agar tulisannya tidak menbuat jenuh pembaca.. Karena itulah sering muncul “kata-kata baru” dari dunia jurnalistik. Kalau ditelisik lebih jauh maka akan ditemukan sederetan kata yang dipopulerkan kaum jurnalis, yang dipetik dari khasanah bahasa masyarakat ataupun dengan memberi makna baru terhadap kata yang sudah mati.
Sosok pejuang bahasa diperlihatkan dengan jelas oleh Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo. Dua wartawan muda inilah yang menggagas kongres bahasa pertama (1938) di Solo, Jawa Tengah. Jadi yang pertama-tama bukanlah guru atau ahli bahasayang amat peduli terhadap perkembangan bahasa sehingga perlu diadakan kongres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar