Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi saja adalah sebuah perang mengenai masa depan pulau Kalimantan, antara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania.
Latar belakang
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[1] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
Perang
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
• Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
• Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Akhir konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Akibat
Konfrontasi ini merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.[1]
Catatan kaki
1. ^ a b Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007
Indonesia/Malaysia: Hak Pekerja Rumah Tangga Diinjak
Majikan dan Penyalur Tenaga Kerja Mengeksploitasi dan Melecehkan Pekerja Perempuan
July 21, 2004
Pekerja rumah tangga asal Indonesia diperlakukan seperti manusia kelas kedua. Malaysia dan Indonesia harus secara aktif melindungi hak-hak buruh perempuan, bukannya membiarkan masalah ini ditangani oleh penyalur-penyalur tenaga kerja yang seringkali bertanggungjawab atas pelecehan.
LaShawn R. Jefferson, Direktur Eksekutif Divisi Hak Perempuan di Human Rights Watch.
Ribuan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia sedang dilecehkan karena kebijakan pemerintah di kedua negara itu gagal melindungi mereka, menurut Human Rights Watch dalam sebuah laporan baru yang diluncurkan hari ini.
90 persen lebih dari 240,000 pekerja rumah tangga di Malaysia adalah warga negara Indonesia. Laporan Human Rights Watch mendokumentasi bagaimana mereka biasa bekerja keras enambelas hingga delapanbelas jam sehari, tujuh hari seminggu, dan digaji kurang dari U.S.$0,25 per jam.
Buruh migran di seluruh dunia mengirim lebih dari $90 milyar ke negara berkembang, melebihi bantuan dana asing. Jumlah buruh migran yang perempuan makin meningkat. Di Indonesia, 76 persen dari semua buruh migran sah di tahun 2002 adalah perempuan. Sebagian besar buruh migran perempuan bekerja di sektor-sektor yang bergaji rendah dan tidak diregulasi, seperti sektor rumah tangga.
Undang-undang Malaysia mengabaikan pekerja rumah tangga dari kebanyakan perlindungan kerja, dan Indonesia masih belum memiliki undang-undang apapun yang secara spesifik melindungi buruh migran. Kedua pemerintah harus membenahi undang-undang ketenagakerjaan, memonitor secara seksama perusahaan jasa tenaga kerja, dan memberikan bantuan pelayanan yang berkualitas bagi korban, kata Human Rights Watch.
“Pekerja rumah tangga asal Indonesia diperlakukan seperti manusia kelas kedua,” kata LaShawn R. Jefferson, Direktur Eksekutif Divisi Hak Perempuan di Human Rights Watch. “Malaysia dan Indonesia harus secara aktif melindungi hak-hak buruh perempuan, bukannya membiarkan masalah ini ditangani oleh penyalur-penyalur tenaga kerja yang seringkali bertanggungjawab atas pelecehan.”
Laporan Human Rights Watch sepanjang 110 halaman, “Mencari Bantuan: Pelecehan terhadap Pekerja Rumah Tangga Migran Perempuan di Indonesia dan Malaysia,” mendokumentasi pelecehan dan eksploitasi yang dihadapi pekerja rumah tangga perempuan di setiap tahap migrasi.
Kebanyakan pekerja rumah tangga dilarang meninggalkan tempat kerja mereka dan jumlah yang tak diketahui menderita pelecehan psikologis, fisik, dan seksual dari agen kerja dan majikan. Sebagian pekerja rumah tangga migran terjebak dalam situasi trafficking (perdagangan manusia) dan kerja paksa: mereka ditipu mengenai kondisi dan jenis pekerjaan mereka, dikurung dalam tempat kerja, dan tidak menerima gaji apapun.
Perusahaan jasa tenaga kerja di Indonesia dan Malaysia menguasai sebagian besar aspek proses migrasi dan penempatan dengan hanya sedikit pemantauan dari kedua pemerintah, menurut Human Rights Watch. Di Indonesia, agen tenaga kerja sering menjadikan calon pekerja korban dari pemerasan, proses-proses rekrutmen yang diskriminatif, dan pengurungan selama berbulan-bulan di tempat-tempat pelatihan yang penuh sesak. Di Malaysia, agen tenaga kerja seakan tuli terhadap pengaduan-pengaduan perempuan mengenai perlakuan yang melecehkan, dan permohonan-permohonan mereka agar dipulangkan.
Menurut Human Rights Watch, banyak majikan menahan gaji pekerja rumah tangga mereka hingga akhir kontrak standar dua tahun. Banyak pekerja rumah tangga yang tidak dibayar gaji penuh mereka dan hanya memiliki kemungkinan kecil untuk mendapatkan ganti rugi. “Perempuan Indonesia meninggalkan segalanya untuk mencari hidup di Malaysia,” Varia menambah. “Mereka sering pulang tanpa gaji sah mereka, sementara semua orang lain dalam proses ini mengambil untung dari mereka.”
Indonesia dan Malaysia sedang menegosiasikan sebuah Kesepakatan Bersama (Memorandum of Understanding atau MoU) tentang pekerja rumah tangga migran. Human Rights Watch menyambut inisiatif ini, tetapi mengingatkan bahwa perjanjian ini harus memastikan kebebasan bergerak dan berorganisasi, termasuk kontrak standar yang secara penuh melindungi hak ketenagakerjaan pekerja, dan mengandung ketentuan-ketentuan mengenai ganti rugi jika terjadi kasus pelecehan.
Human Rights Watch meminta pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk melakukan serangkaian perbaikan, yang meliputi:
• Memperbaiki perlindungan-perlindungan hukum dengan menciptakan undang-undang mengenai perlindungan buruh migran, dan dengan membenahi undang-undang ketenagakerjaan dan imigrasi yang sekarang ada agar memberikan perlindungan setara bagi buruh migran;
• Mengatur dan memonitor secara seksama kegiatan penyalur tenaga kerja dan kondisi di tempat pelatihan di Indonesia;
• Menginspeksi kondisi tempat kerja di Malaysia dan menciptakan mekanisme-mekanisme pengaduan bagi pekerja rumah tangga migran yang menderita pelecehan;
• Memberikan sumberdaya untuk meningkatkan akses pekerja rumah tangga terhadap pelayanan kesehatan, bantuan hukum, dan bantuan pelayanan lainnya; dan
• Memperbaiki usaha-usaha untuk mencegah dan menangani perdagangan manusia (trafficking) untuk kerja paksa.
Human Rights Watch juga meminta para donor internasional dan ASEAN mendukung inisiatif-inisiatif seperti perjanjian-perjanjian ketenagakerjaan multilateral, agar melindungi hak-hak pekerja rumah tangga migran.
Beberapa kesaksian pekerja rumah tangga dan agen tenaga kerja yang ditemukan dalam laporan ini:
(Nama samaran digunakan bagi pekerja perempuan untuk melindungi privacy mereka dan mencegah retaliasi)
Nyatun Wulandari, usia duapuluh tiga tahun, bertutur, “Saya bekerja untuk lima orang, anak-anaknya sudah dewasa. Saya membersihkan rumah, dapur, mengepel lantai, menyetrika, menyedot debu, dan membersihkan mobil. Saya kerja dari jam 5 pagi sampai jam 2 pagi setiap hari. Saya tidak pernah mendapatkan waktu istirahat; saya mencuri waktu agar dapat istirahat. Hanya sekali saya dibayar, 200 ringgit [U.S.$52.63]. Saya tidur di dapur di atas tikar. Saya tidak diperbolehkan keluar rumah.”
Jumilah Ratnasari, usia tigapuluh dua tahun, bercerita, “Ada hampir tujuh ratus orang [di pusat pelatihan]. Ada yang menjadi gila. Semuanya perempuan…. Ada yang menunggu di sana selama enam bulan. Kebanyakan dari mereka ingin meninggalkan perusahaan itu, tapi untuk melakukannya harus bayar satu juta rupiah [U.S.$122]. Banyak yang kabur dengan cara memanjat tembok. Kita tidak diperbolehkan keluar. Ada banyak [petugas] keamanan---yang keras---dan pagar-pagar yang terkunci. Kalau ada yang kabur, [petugas] keamanan dihukum, mereka menelfon agen-agen di Lombok untuk memastikan apakah yang kabur pulang ke rumah.”
Arianti Harikusumo, usia duapuluh tujuh tahun, bercerita, “Waktu saya meminta gaji saya, majikan memukul saya. Saya tidak pernah mendapatkan gaji saya, majikan tidak memberi saya uang. Majikan tidak pernah memberikan saya satu ringgitpun. Kalau majikan-majikan saya keluar, mereka mengunci pintu dari luar dan membawa kuncinya. Majikan saya melarang saya berbicara dengan tetangga. Dia tidak membolehkan saya menggunakan telpon atau menulis surat. Saya meminta majikan saya agar menulis surat kepada keluarga saya dan dia tidak memberi izin.”
Susanti Pramono, usia duapuluh tahun, bertutur, “Waktu ibu [majikan] pergi mengantar anak-anak ke rumah nenek, [majikan] yang lelaki tinggal di rumah…. Dia memperkosa saya berkali-kali. Sekali sehari, setiap hari untuk tiga bulan. Dia sering memukul saya karena saya tidak mau melakukan seks.”
Reog Malaysia Asli Buatan Indonesia
Jumat, 23 November 2007 03:12 WIB | Hiburan | | Dibaca 7772 kali
Ponorogo (ANTARA News) - Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Pemkab Ponorogo, Jawa Timur menyatakan gambar reog yang ditampilkan di website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia adalah asli buatan perajin reog asli Ponorogo.
Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya, Pemkab Ponorogo, Gunardi, Kamis, di Ponorogo, mengatakan gambar reog Malaysia di website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia dengan alamat situs http://www.heritage.gov.my itu terdapat banyak kemiripan dengan reog Ponorogo. "Setelah saya telusuri ternyata gambar reog di website itu adalah asli buatan Pak Molok, perajin reog di Ponorogo," katanya saat ditemui di Pemkab Magetan. Menurut dia, dadak merak reog yang dibuat Molok berukuran panjang 2,25 meter, lebar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram, sedangkan yang membedakan antara reog buatan Molok dengan perajin reog lainya terletak pada kekhasan saat membuat dadak merak dengan motif dan ukiran khusus. "Tapi jelasnya, yang lebih mengetahui kalau reog itu buatan Pak Molok ya para perajin reog itu sendiri," katanya. Selain itu, kata dia, para perajin reog juga pernah mengaku pernah mengirim dua unit reog ke pelanggannya yang ada di Malaysia beberapa tahun lalu.
Namun demikian, ia menjelaskan bahwa Pemerintahan Malaysia mempunyai program melindungi seni budaya baik yang berasal dari Malaysia maupun luar negaranya yang saat ini berkembang di Malaysia. Adapun seni budaya yang dilindungi Pemerintahan Malaysia saat ini meliputi tarian tradisional Melayu, China, India, Sikh, etnis Sabah, dan etnis Serawak. "Seni tari reog asal Ponorogo masuk dalam kategori seni tari Melayu yang juga dilindungi," katanya. Menurut Gunardi, saat ini yang dipermasalahkan banyak orang yakni adanya gambar reog yang bertuliskan Malaysia. Selain itu, banyak cerita yang ditampilkan dalam tarian garongan mirip dengan cerita yang ada di tarian reog Ponorogo.(*)
Menlu: Blok Ambalat Itu Hak Berdaulat Indonesia
Jumat, 26 Juni 2009 21:43 WIB | Peristiwa | Politik/Hankam | Dibaca 807 kali
Surabaya (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menegaskan bahwa Blok Ambalat itu merupakan bagian dari hak berdaulat Indonesia, namun laut Ambalat itu sesungguhnya bukan kedaulatan Indonesia.
"Blok Ambalat tidak masuk dalam 12 mil dari baseline (tepi pangkal) yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia, tapi laut Ambalat itu masuk wilayah hak berdaulat dari Indonesia yang berada di luar 12 mil dan masih menjadi hak eksplorasi Indonesia," katanya di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga" yang diadakan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu, Triyono Wibowo, ia mengatakan negara pantai seperti Indonesia menurut hukum Laut Internasional berhak atas laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif atau ZEE (200 mil laut) dan landas kontinen (350 mil laut atau bahkan lebih).
Kendati wilayah hak berdaulat itu bukan wilayah kedaulatan, tapi wilayah hak berdaulat yang dihitung setelah 12 mil itu memberi kewenangan kepada Indonesia untuk melakukan eksplorasi sumberdaya laut yang ada.
"Masalahnya, provokasi yang dilakukan Malaysia dalam beberapa tahun terakhir sudah melanggar keduanya yakni wilayah kedaulatan Indonesia dan wilayah hak berdaulat Indonesia itu," katanya ketika ditanya ANTARA setelah memberi kuliah tamu.
Namun, kata Menteri yang menyelesaikan program doktor di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat itu, Indonesia tidak ingin berperang dengan Malaysia.
"Kita memiliki perbatasan laut dengan 10 negara dan perbatasan darat dengan tiga negara yakni Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini, karena itu kita mengedepankan perundingan, bukan perang," katanya.
Menurut dia, perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama, karena itu bila penyelesainnya lama bukan berarti pemerintah tidak serius atau lembek.
"Dalam sengketa dengan Vietnam terkait Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di daratan Asia Tenggara, ternyata dapat diselesaikan dalam 32 tahun, sedangkan penyelesaian sengketa Indonesia-Singapura membutuhkan waktu lima tahun," katanya.
Terkait dengan laut Ambalat, katanya, pihaknya saat ini sudah melakukan 13 kali perundingan, namun provokasi dari Malaysia juga sudah banyak.
"TNI AL lewat Panglima TNI sudah berkali-kali menyampaikan surat ke saya terkait adanya insiden dengan mencatat nama kapal, berapa kali masuk, dan langkah-langkah yang sudah dilakukan TNI AL," katanya.
Hasilnya, katanya, surat Panglima TNI itu sudah disampaikan kepadanya dan dirinya juga sudah menyampaikan nota protes kepada Menlu Malaysia.
"Protes itu sendiri masih ditanggapi dengan klaim Malaysia, karena itu kita akan memprioritaskan pada perundingan agar masalah itu tidak berlarut-larut, tapi saya setuju bila TNI AL melakukan perkuatan personel di sana agar Malaysia dapat menahan diri sebelum perundingan selesai," katanya.(*)
Indonesia-Malaysia Sepakati Perjanjian Udara Baru
Selasa, 16 Juni 2009 17:42 WIB | Ekonomi & Bisnis | Bisnis | Dibaca 799 kali
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Indonesia dan Malaysia memasuki babak baru dalam perjanjian udara karena telah mencapai beberapa kesepakatan di antaranya kesepakatan frekuensi penerbangan dan kapasitas angkutan udara komersial, hak lalu lintas penerbangan bebas kelima, angkutan kargo, dan tipe pesawat. "Banyak kesepakatan yang dicapai dari perundingan angkutan udara Indonesia - Malaysia di Putrajaya, 9-10 Juni 2009," kata Atase Perhubungan KBRI Kuala Lumpur, Sahar Andika Putra di Kuala Lumpur, Selasa. Delegasi Indonesia dipimpin Direktur Angkutan Udara Tri S Sunoko dan delegasi Malaysia dipimpin Sekjen Kementerian Pengangkutan Zakaria. Dalam pertemuan itu hadir juga wakil-wakil operator penerbangan yakni Merpati, Sriwijaya Air, Cardig Air dan AirAsia Indonesia dan MAHB (Malaysian Airports Holding Bhd). Rincian kesepakatan, lanjut Sahar, tentang frekuensi dan kapasitas angkutan penumpang ialah untuk rute utama adanya pembatasan frekuensi penerbangan yakni hanya 300 penerbangan per minggu untuk rute Kuala Lumpur - Jakarta (pp), Kuala Lumpur - Denpasar (pp), dan Kuala Lumpur - Surabaya. "Malaysia meminta 400 penerbangan per minggu namun disepakati cuma 300 penerbangan saja," katanya. Sedangkan untuk rute feeder (pengumpan) disepakati maksimum 200 frekuensi penerbangan per minggu misalkan untuk rute Kuala Lumpur-Padang, Kuala Lumpur-Medan atau Kuala Lumpur-Solo.
Fifth Freedom
Dari perundingan itu, Indonesia setuju memberikan fifth freedom traffic right atau hak lalu lintas bebas kelima kepada maskapai penerbangan Malaysia, 14 frekuensi per minggu, dari kota Jakarta, atau Denpasar, atau Makassar, dan Balikpapan ke Sydney, Melbourne, Brisbane dan Perth. "Jadi maskapai penerbangan Malaysia bisa buat rute KLIA-Jakarta-Sydney atau KLIA-Denpasar-Perth. Maskapai penerbangan Malaysia bisa angkut penumpang dari Jakarta dan Denpasar," jelas Atase Perhubungan itu. Sedangkan penerbangan Indonesia diberikan hak terbang fifth freedom traffic right oleh pemerintah Malaysia dari semua poin (Bandara) di Indonesia ke Kuala Lumpur, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian meneruskan penerbangan ke seluruh negara Asia, kecuali Jepang.
"Jadi penerbangan Indonesia bisa buat rute Jakarta-Kuala Lumpur-Jeddah, atau Jakarta-Kota Kinabalu-Beijing. Bisa terbang dan angkut penumpang dari KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian terus terbang lagi ke kota-kota di Asia, kecuali Jepang. Jatahnya hanya 36 penerbangan per minggu," katanya.
Selain itu, penerbangan Indonesia juga dapat terbang dari Indonesia ke KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian meneruskan penerbangan ke Eropa. Jatahnya hanya 14 penerbangan per minggu. Contohnya, penerbangan Indonesia bisa terbang, Denpasar-KLIA-Amsterdam.
Malaysia juga berikan hak penerbangan dari Indonesia ke KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching kemudian terbang lagi ke negara-negara Timur Tengah maksimal 21 frekuensi penerbangan per minggu. "Kalau ke Amerika Serikat diberikan hak 14 penerbangan per minggu dari Indonesia ke KLIA, atau Kota Kinabalu, atau Kuching terus terbang lagi ke Amerika. Jadi nanti bisa dibuat rute Jakarta-Kuala Lumpur-Los Angeles," katanya. Kesepakatan Indonesia-Malaysia di bidang penerbangan kargo, Indonesia memberikan angkutan kargo Malaysia tanpa batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat untuk rute Malaysia-Batam (pp), Malaysia-Jakarta (pp), Malaysia-Surabaya (pp), Malaysia-Balikpapan (pp). Malaysia memberikan angkutan kargo Indonesia tanpa batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat untuk rute Indonesia-Kuala Lumpur (pp), Indonesia-Penang (pp), Indonesia-Johor Bahru (pp), dan Indonesia-Kota Kinabalu (pp). Mengenai tipe pesawat, Indonesia-Malaysia sepakat menambah tipe pesawat baru yakni B-737-800 masuk dalam daftar yang diijinkan operasi. Sebelumnya tipe pesawat yang sudah diijinkan yakni Boeing 747-300, Airbus 330, Boeing 777, Boeing 757, Airbus 300-200, Boeing 737-900, Boeing 737-200/300/400/500, Boeing 727, MD82, Airbus 319, Fokker 28-1000/4000, BAE-146, ATR72, Fokker 27 dan BN-2. "Hasil kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam MOU yang akan ditandatangani kedua menteri perhubungan di Jakarta pada Agustus 2009," tambah Sahar. Selain itu, dalam perundingan itu, pemerintah telah mencabut surat keputusan menteri dalam negerinya yang mewajibkan tenaga kerja Indonesia (TKI) menggunakan Malaysia Airlines (MAS) ke Malaysia dan akan memberikan perlakuan adil kepada maskapai penerbangan dua negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar